Baca Juga: 18 Pesantren di Jawa Tengah yang Dapat Penghargaan PBNU Karena Berusia 1 Abad Lebih
Menurutnya, tiga peristiwa sejarah tersebut kemudian segera direspon para pendiri (muassis/founding father) NU dengan mendirikan Jamiyyah Diniyyah Ijtimaiyyah Nahdlatul Ulama.
"Jadi, sebagaimana yang sering disampaikan Kiai Yachya Cholil Staquf (Gus Yahya) ketua umum PBNU, visi NU adalah visi peradaban," tuturnya.
Para masyayikh pendiri NU, menurutnya, punya waskita (ilmu ruhani tingkat tinggi) terhadap tanda-tanda zaman, yakni dunia telah berubah dan secepatnya membutuhkan respon.
"Salah satunya ijtihad ulama-ulama NU memilih negara bangsa dibanding menghidupkan kembali Khilafah Islamiyyah yang sudah mati terkubur reruntuhan peradaban lama," tegasnya.
Di bawah kepemimpinan Gus Yahya, lanjutnya, NU ingin melanjutkan kembali visi peradaban yang sudah dirintis oleh para muassis NU.
"Rangkaian Khalaqah Fikih Peradaban yang diadakan di banyak pesantren salah satunya bertujuan menyerap, menggali, dan mendiskusikan pikiran-pikiran para ulama merespon perubahan tatanan dunia baru, khususnya berkaitan dengan fikih siyasah (fikih politik)," tegasnya.
Bukan hanya itu, katanya, tapi juga menjawab pertanyaan, bagaimana teks, khususnya khazanah peradaban kitab kuning yang dimiliki pesantren-pesantren, berhadapan dengan realitas kemanusiaan yang terus berubah?
"Menyongsong tatanan dunia baru dibutuhkan kecakapan dalam membaca dan memahami realitas (fiqhul waqi')," jelasnya.