Fiqhu al-waqi, menurutnya, adalah fikih yang berangkat dan bertolak dari realitas. Memahami realitas harus sebaik memahami teks (fiqhul wajib lil waqi'). Ini akan membalik kebiasaan komunitas pesantren yang menjadikan teks sebagai basis bagi realitas.
"Dalam tradisi bahtsul masail di pesantren-pesantren, kitab kuning dijadikan sebagai reverensi utama menjawab realitas (waqiiyyah). Seolah-olah semua persoalan sudah ada jawabannya dalam kitab kuning," katanya.
Dalam analisanya, kitab kuning semacam primbon yang bisa membaca masa depan. Akibatnya, teks yang terbatas oleh ruang waktu harus tertatih-tatih mengejar realitas yang selalu bergerak cepat melampaui dan meninggalkan teks.
"Bagaimanapun, al-Ghazali dalam al-Munqiz min al-Dhalal sudah mengingatkan bahwa teks yang terbatas takkan dapat merengkuh realitas yang tak terbatas (anna al-nushus mutanahiyah la tastauibu al-waqai' al-gharu al-mutanahiyah)," pungkasnya.***