BERITA BANTUL - Puisi “Zikir” karya D. Zawawi Imron memiliki makna yang luar biasa tentang ke esaan Allah SWT.
Dengan memanfaatkan sarana retorik berupa repetisi pada kata /alif/, /alifmu/, /hompimpah/, dan /jadi/.
Zawawi Imron dengan kata-kata yang berupa repetisi ini seolah-olah ingin menegaskan, ingin menghadirkan maksud yang lebih kuat lagi.
Baca Juga: Puisi 'Kangen' Karya WS Rendra, Mengusahkan Pesan-pesan Cinta yang Luar Biasa
Dikutip BeritaBantul.com dari kanal YouTube Rudi Rustiadi, seperti halnya, kata /alifmu/ yang ingin diulang dua kali diawal mendakan bahwa tidak hanya cukup satu saja yang ingin disampaikan, tetapi banyak.
Begitu juga halnya dengan kata /hompimpah/ dan /jadi/. Sedangkan kata /alif/ sendiri terus diulang-ulang halnya sebuah zikir yang tidak hanya sebatas satu, dua kali saja diucapkan, tetapi banyak bahkan beribu-ribu kali.
Berikut bait-bait puisi Zawawi Imron yang menggugah selara adanya tuhan yang maha satu lewat Puisi "Dzikir" karyanya.
DZIKIR
alif, alif, alif
alifmu pedang di tanganku
susuk di dagingku, kompas di hatiku
alifmu tegak jadi cagak, meliut jadi belut
hilang jadi angan, tinggal bekas menetaskan terang
hingga aku berkesiur
pada angin kecil akdir-mu
hompimpah hidupku, hompimpah matiku,
hompimpah nasibku, hompimpah, hompimpah,
hompimpah!
kugali hatiku dengan linggis alifmu
hingga lahir mataair, jadi sumur, jadi sungai,
jadi laut, jadi samudra dengan sejuta gelombang
mengerang menyebut alifmu
alif, alif, alif!
alifmu yang satu
tegak di mana-mana
1983
Diksi yang digunakan dalam puisi “Zikir” itu sangat unik. Misalnya, kata /alif/ dan /hompimpah/.
Kata alif di sini bisa diartikan sebagai perwujudan garis lurus antar seorang hamba dengan Khaliqnya, artinya dalam beribadah itu harus tetap pada yang satu yaitu Allah Swt, tidak boleh bercabang-cabang.
makna larik ini /alifmu pedang di tanganku, susuk di dagingku, kompas di hatiku/ adalah mengingat atau berzikir kepada Allah umpamanya sebuah pedang di tangan.
di mana pedang bisa melindungi diri dari bahaya, kemudian dengan zikir bisa menjadi “susuk”, mungkin susuk di sini bisa diartikan sebagai “pasak” untuk raga, dan zikir bisa menjadi “kompas” yang di sini bisa diartikan sebagai “petunjuk arah”.
Baca Juga: Berhenti Menduga-duga Maulana Jalaludin Rumi
Kemudian beralih ke larik selanjutnya, yaitu /alifmu tegak jadi cagak, meliut jadi belut, hilang jadi angan, tinggal bekas menetaskan terang, hingga aku berkesiur pada angin kecil takdir-mu/.
Kata /hompimpah/ di sini diilustrasikan sebagai sebuah ritual pengundian, tebak-tebakan atau di sini mungkin bisa diartikan sebagai pemasrahan diri.
Terhadap takdir yang akan dilalui karena konon disebutkan bahwa “Hompimpa” itu berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya, “Dari Tuhan kami ke Tuhan”.
/hompimpah hidupku, hompimpah matiku, hompimpah nasibku, hompimpah, hompimpah, hompimpah!/. Baik kehidupan, kematian, nasib, dan segalanya itu dipasrahkan semuanya kepada Sang Pencipta.
/kugali hatiku dengan linggis alifmu, hingga lahir mata air, jadi sumur, jadi sungai, jadi laut, jadi samudra dengan sejuta gelombang, mengerang menyebut alifmu/.
Baca Juga: Saya Hampir Menyerah Kata Bijak Buya Hamka
/kugali hatiku dengan linggis alifmu/ ia akan memasuki hatinya dengan zikir-zikir. Tak peduli seberapa keras hatinya, ia kan tetap memasukinya dengan zikir, karena kemauannya itu begitu kuat. Mulai dari tahapan-tahapan, dari “mata air’, “sumur”, hingga “samudera dengan sejuta gelombang”.
Sedikit demi sedikit dari sesuatu yang kecil hingga mendatangkan sesuatu yang amat besar hingga ia benar-benar menjadikan zikir itu sebagai keluhan, menjadikan Allah sebagai satu-satunya Tuhan.
Kebanyakan puisi “Zikir” ini menggunakan majas metapora. /alifmu pedang di tanganku, susuk di dagingku, kompas di hatiku/ termasuk metapora karena adanya bagian yang memperlihatkan persamaan antara topik dan citra.
Di mana “alifmu” sebagai topik dan “pedang”, “susuk” dan “ kompas” sebagai citra atau gambaran. /alifmu/ dan masing-masing kata tersebut memilki persamaan makna yaitu, zikir sebagai “pelindung”, “pasak” dan “petunjuk”.
Baca Juga: Kata Bijak Buya Hamka tentang Pemuda
Kata /alif/ di sini termasuk metonimi karena diartikan sebagai perwujudan garis lurus antara seorang hamba dengan Khaliqnya, atau huruf /alif/ ini sebagai penanda bahwa bila beribadah itu harus tetap pada yang satu yaitu Allah Swt, tidak boleh bercabang-cabang.
Citraan pendengaran terdapat dalam larik /mengerang menyebut alifmu/ dan citraan penglihatan terdapat dalam larik /kugali hatiku dengan linggis alifmu, hingga lahir mata air, jadi sumur, jadi sungai, jadi laut, jadi samudra dengan sejuta gelombang/.
Makna secara keseluruhan dari puisi ini adalah bagaimana kita menjadikan Allah itu sebagai tuhan satu-satunya dengan terus berzikir sebanyak-banyaknya, memasrahkan semuanya kepada-Nya.***