Puisi Rendra Tentang Kehidupan yang Melegenda Berjdul 'Sajak Potret Keluarga'

- 18 Mei 2022, 21:45 WIB
Penyair dan sastrawan, Ws Rendra
Penyair dan sastrawan, Ws Rendra /Tangkapan Layar Kanal YouTube/Shaumi/

BERITA BANTUL - Ws Rendra sastrawan asal Indonesi yang sangat luar biasa karena karya-karyanya yang sangat fenomenal.

Willibrordus Surendra Broto, dikenal luas dengan nama W.S. Rendra, lahir di Surakarta (Solo) pada tanggal 7 November 1935 dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah.

Mengutip Harlina Indijati dan Abdul Murad dalam Biografi Pengarang Rendra dan Karyanya (1996), “dari nama-nama itu dapat ditebak bahwa WS. Rendra berasal dari keluarga Katolik yang dibesarkan di lingkungan budaya Jawa”.

Baca Juga: Sajak Doa Orang Lapar, Puisi Rendra yang Menggelegar

Rendra merupakan salah satu seniman puisi dan teater yang terkenal di Indonesia. Dari tangan dinginnya, banyak karya-karya sastra fenomenal yang terlahir mengikuti zaman.

Sejak muda, Rendra sudah aktif menulis puisi, skenario drama, cerpen, dan esai sastra di berbagai media massa. Semasa hidupnya, WS Rendra banyak menghasilkan karya yang mengkritik rezim (Orde Baru) saat itu.

Rendra mendapat julukan sebagai “Si Burung Merak” karena penampilannya yang selalu penuh dengan pesona. Julukan ini didapat saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta.

Terdapat dua versi dalam cerita ini. Pertama, Rendra berkata secara spontan, “Itu Rendra! Itu Rendra!” ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya. Kedua, temannya yang berasal dari Australia lah yang mengatakan  “Itu Rendra!”. Bagaimana pun, dari peristiwa itu, julukan Si Burung Merak melekat dengan sosok WS Rendra.

Baca Juga: Baca dan Resapi Puisi Ws Rendra Tentang Cinta 'Surat Kepada Bunda Tentang Calon Menantunya '

Dirangkum Berita Bantul.com berikut puisi Ws Rendra yang melegenda tentang kisah hidup berkualarga dengan judul dibawah ini.

Sajak Potret Keluarga

(W.S. Rendra) Yogya, 10 Juli 1975.

 

Tanggal lima belas tahun rembulan.

Wajah molek bersolek di angkasa.

Kemarau dingin jalan berdebu.

Ular yang lewat dipagut naga.

Burung tekukur terpisah dari sarangnya.

Kepada rekannya berkatalah suami itu :

Semuanya akan beres. Pasti beres.

Mengeluhkan keadaan tak ada gunanya.

Kesukaran selalu ada.

Itulah namanya kehidupan.

Apa yang kita punya sudah lumayan.

Asal keluarga sudah terjaga,

rumah dan mobil juga ada,

apa palgi yang diruwetkan ?

Anak-anak dengan tertib aku sekolahkan.

Yang putri di SLA, yang putra mahasiswa.

Di rumah ada TV, anggrek,

air conditioning, dan juga agama.

Inilah kesejahteraan yang harus dibina.

Kita mesti santai.

Hanya orang edan sengaja mencari kesukaran.

Memprotes keadaaan, tidak membawa perubahan.

Salah-salah malah hilang jabatan.

­­­­­­..

Tanggal lima belas tahun rembulan

Angin kemarau tergantung di blimbing berkembang.

Malam disambut suara halus dalam rumputan.

Anjing menjenguk keranjang sampah.

Kucing berjalan di bubungan atap.

Dan ketonggeng menunggu di bawah batu.

 

Isri itu duduk di muka kaca dan berkata :

Hari-hari mengalir seperti sungai arak.

Udara penuh asap candu.

Tak ada yang jelas di dalam kehidupan.

Peristiwa melayang-layang bagaikan bayangan.

Tak ada yang bisa diambil pegangan.

Suamiku asyik dengan mobilnya

padahal hidupnya penuh utang.

Semakin kaya semakin banyak pula utangnya.

Uang sekolah anak-anak selalu lambat dibayar.

Ya, Tuhan, apa yang terjadi pada anak-anakku.

Apakah jaminan pendidikannya ?

Ah, Suamiku !

Dahulu ketika remaja hidupnya sederhana,

pikirannya jelas pula.

Tetapi kini serba tidak kebenaran.

Setiap barang membuatnya berengsek.

Padahal harganya mahal semua.

TV Selalu dibongkar.

Gambar yang sudah jelas juga masih dibenar-benarkan.

Akhirnya tertidur­­.

Sementara TV-nya membuat kegaduhan.

Tak ada lagi yang bisa menghiburnya.

Gampang marah soal mobil

Gampang pula kambuh bludreknya

Makanan dengan cermat dijaga

malahan kena sakit gula.

Akulah yang selalu kena luapan.

Ia marah karena tak berdaya.

Ia menyembunyikan kegagalam.

Ia hanyut di dalam kemajuan zaman.

Tidak gagah. Tidak berdaya melawannya !

­­­­­­­­­­­­..

Tanggal lima belas tahun rembulan.

Tujuh unggas tidur di pohon nangka

Sedang di tanah ular mencari mangsa.

Berdesir-desir bunyi kali dikejauhan.

Di tebing yang landai tidurlah buaya.

Di antara batu-batu dua ketam bersenggama.

 

Sang Putri yang di SLA, berkata :

Kawinilah aku. Buat aku mengandung.

Bawalah aku pergi. Jadikanlah aku babu.

Aku membenci duniaku ini.

Semuanya serba salah, setiap orang gampang marah.

Ayah gampang marah lantaran mobil dan TV

Ibu gampang marah lantaran tak berani marah kepada ayah.

Suasana tegang di dalam rumah

meskipun rapi perabotannya.

Aku yakin keluargaku mencintaiku.

Tetapi semuanya ini untuk apa ?

Untuk apa hidup keluargaku ini ?

Apakah ayah hidup untuk mobil dan TV ?

Apakah ibu hidup karena tak punya pilihan ?

Dan aku ? Apa jadinya aku nanti ?

Tiga belas tahun aku belajar di sekolah.

Tetapi belum juga mampu berdiri sendiri.

Untuk apakah kehidupan kami ini ?

Untuk makan ? Untuk baca komik ?

Untuk apa ?

Akhirnya mendorong untuk tidak berbuat apa-apa !

Kemacetan mencengkeram hidup kami.

Kakasihku, temanilah aku merampok Bank.

Pujaanku, suntikkan morpin ini ke urat darah di tetekku

­­­­­­­­­­­­

Tanggal lima belas tahun rembulan.

Atap-atap rumah nampak jelas bentuknya

di bawah cahaya bulan.

Sumur yang sunyi menonjol di bawah dahan.

Akar bambu bercahaya pospor.

Keleawar terbang menyambar-nyambar.

Seekor kadal menangkap belalang.

Sang Putra, yang mahasiswa, menulis surat dimejanya :

Ayah dan ibu yang terhormat,

aku pergi meninggalkan rumah ini.

Cinta kasih cukup aku dapatkan.

Tetapi aku menolak cara hidup ayah dan ibu.

Ya, aku menolak untuk mendewakan harta.

Aku menolak untuk mengejar kemewahan,

tetapi kehilangan kesejahteraan.

Bahkan kemewahan yang ayah punya

tidak juga berarti kemakmuran.

Ayah berkata : santai, santai !

tetapi sebenarnya ayah hanyut

dibawa arus jorok keadaan

Ayah hanya punya kelas,

tetapi tidak punya kehormatan.

Kenapa ayah berhak mendapatkan kemewahan yang sekarang ayah miliki ini?

Hasil dari bekerja ? Bekerja apa ?

Apakh produksi dan jasa seorang birokrat yang korupsi ?

Seorang petani lebih produktip daripada ayah.

Seorang buruh lebih punya jasa yang nyata.

Ayah hanya bisa membuat peraturan.

Ayah hanya bisa tunduk pada atasan.

Ayah hanya bisa mendukung peraturan yang memisahkan rakyat dari penguasa.

Ayah tidak produktip melainkan destruktip.

Namun toh ayah mendapat gaji besar !

Apakah ayah pernah memprotes ketidakadilan ?

tidak pernah, bukan ?

Terlalu beresiko, bukan ?

Apakah aku harus mencontoh ayah ?

Sikap hidup ayah adalah pendidikan buruk bagi jiwaku.

Ayah dan ibu, selamat tinggal.

Daya hidupku menolak untuk tidak berdaya.

Baca Juga: Puisi 'Gugur' Karya Ws Rendra Tentang Perjuangan Membela Tanah Air Sampai Titik Darah Penghabisan

Demikian Puisi Ws Rendra yang penuh akan makna yang luar biasa terkandung didalamnya yang berjudul Sajak Potret Keluarga.***

Editor: Ahmad Amnan

Sumber: YouTube


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah