Dikelilingi Para Waliyullah, Siapa Saja yang Bersama Gus Dur dalam Foto Langka Ini?

- 6 Agustus 2023, 00:11 WIB
Foto Langka: Siapa Saja yang Bersama Gus Dur Itu?
Foto Langka: Siapa Saja yang Bersama Gus Dur Itu? /twitter @dakwahpbnu/

TOKOH - Dikelilingi Para Waliyullah, Siapa Saja yang Bersama Gus Dur dalam Foto Langka Ini?

Foto langka ini memuat banyak tokoh yang kharismatik bahkan masyhur disebut sebagai kekasih Allah atau waliyullah. 

Yang paling terkenal tentu saja foto KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden RI ke 4. 

Baca Juga: Bagaimana Saat Shalat Kok Malah Mikirin Hutang? Begini Penjelasan Gus Baha yang Membuatmu Tenang

Kalau masih penasaran, siapa saja sebenarnya tokoh-tokoh yang bersama Gus Dur dalam foto klasik tersebut?

Foto langka dan klasik itu dimuat di akun twitter @DakwahPBNU yang diunggah pada 25 Agustus 2021.

Disebutkan, bahwa tokoh-tokoh dalam foto langka itu dari kiri ke kanan adalah: Gus Dur, KH Yusuf Hasyim, Gus Miek, KH Abdullah Salam, KH Cholil Bisri.

1. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Gus Dur adalah sosok ulama negarawan yang sangat dihormati, bukan saja oleh umat Islam Indonesia tapi juga dunia.

 

Nuruddin Hidayat atau Udin merupakan salah satu santri Gus Dur mengaku sering mendampingi Gus Dur bersama beberapa orang dekat lainnya.

 

Mereka yang mendampingi Gus Dur memang hanya sekedar ngobrol-ngobrol santai di malam hari.

Dalam berbagai kesempatan, beberapa kali dirinya mengalami peristiwa aneh.

Suatu malam, Gus Dur meminta agar orang-orang yang sedang menemaninya keluar sementara lantaran akan ada tamu.

 

Satu per satu orang yang menemani Gus Dur pun keluar, dan Gus Dur akhirnya tinggal sendirian di dalam rumah.

Karena penasaran, Udin pun menanyakan ke pos jaga di depan rumah Gus Dur tentang siapakah tamu yang akan datang.

Namun, kata para penjaga, malam tersebut tidak ada jadwal tamu yang akan berkunjung. Udin juga bertanya kepada Paspampres yang setia mengawali Gus Dur, namun jawaban mereka sama.

Dirinya juga tidak melihat seseorang yang masuk gerbang rumah untuk menemui Gus Dur.

Udin terus mengamati, namun sama sekali tidak terlihat ada orang yang masuk ke rumah Gus Dur.

Namun Udin sudah menjebak bahwa tamu yang mengunjungi Gus Dur malam tersebut bukanlah orang biasa.

Mungkin saja wali Allah, karena Gus Dur dikenal dekat dengan para wali. Kunjungan tamu rahasia Gus Dur tersebut tidak berlangsung lama, hanya sekitar 15 menit.

Karena, setelahnya Gus Dur kembali memangil orang-orang yang sebelumnya menemaninya untuk masuk kembali ke ruangan.

Karena rasa penasarannya, Udin pun memberanikan diri untuk bertanya kepada Gus Dur.

"Siapa Gus tamu yang tadi?" tanya udin.

"Sesepuh," kata Gus Dur.

 

Karena masih penasaran, Udin mencoba memancing Gus Dur agar memberi tahu siapa tamunya tersebut.

"Apakah Sunan Ampel, Gus?," kata Udin.

Gus Dur pun tidak menjawab bahwa tamu malam tersebut adalah Sunan Ampel.

Namun Dirinya berkata Bahwa Sunan Ampel adalah di antara wali songo yang sering mengunjungi Gus Dur.

"Sunan Ampel yang paling sering," jawab Gus Dur.

Udin mengaku sering mengalami peristiwa ini tidak hanya sekali atau dua kali. Biasanya terjadi antara pukul 22.30 hingga 23.00 WIB.

Ada yang menyebut bahwa tamu yang sering datang ke tempat Gus Dur adalah Mbah Mutamakkin yang merupakan kakek buyut dari Gus Dur.

2. KH Yusuf Hasyim Tebuireng (Pak ud).

KH Muhammad Yusuf Hasyim atau yang akrab dipanggil dengan Pak Ud lahir pada 3 Agustus 1929, di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.

Beliau merupakan anak terakhir dari sepuluh bersaudara, dari pasangan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqoh.

Saudara-saudara kandung Pak Ud adalah Hannah, Khairiyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim (Abdul Khaliq), Abdul Karim, Ubaidillah dan Mashurroh.

Ketika Nyai Nafiqoh meninggal dunia di tahun 1941, ayahnya KH. Hasyim Asy’ari menikah lagi dengan Bu Nyai Masruroh yang kemudian dikaruniai empat orang anak, yakni, Abdul Qadir Hasyim (meninggal semasa bayi), Fatimah Hasyim, Chotijah Hasyim dan Ya'qub Hasyim.

Usia Yusuf Hasyim dengan kakak kandungnya terpaut jauh. Seperti contoh kakak termuda Yusuf Hasyim, Abdul Karim Hasyim lebih tua sepuluh tahun darinya.

3. KH Chamim Djazuli (Gus Miek).

KH Chamim Tohari Djazuli atau akrab dengan panggilan Gus Miek lahir pada 17 Agustus 1940. Gus Miek adalah putra KH. Jazuli Utsman (seorang ulama sufi dan ahli tarikat pendiri pon-pes Al Falah mojo Kediri).

Gus Miek salah-satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan pejuang Islam yang masyhur di tanah Jawa dan memiliki ikatan darah kuat dengan berbagai tokoh Islam ternama, khususnya di Jawa Timur.

Maka wajar, jika Gus Miek dikatakan pejuang agama yang tangguh dan memiliki kemampuan yang terkadang sulit dijangkau akal.

Selain menjadi pejuang Islam yang gigih, dan pengikut hukum agama yang setia dan patuh, Gus Miek memiliki spritualitas atau derajat kerohanian yang memperkaya sikap, taat, dan patuh terhadap Tuhan.

Namun, Gus Miek tidak melupakan kepentingan manusia atau intraksi sosial (hablum minallah wa hablum minannas).

Hal itu dilakukan karena Gus Miek mempunyai hubungan dan pergaulan yang erat dengan (alm) KH Hamid Pasuruan dan KH. Achmad Siddiq, serta melalui keterikatannya pada ritual ”dzikrul ghafilin” (pengingat mereka yang lupa).

Gerakan-gerakan spritual Gus Miek inilah, telah menjadi budaya di kalangan Nahdliyin (sebutan untuk warga NU), seperti melakukan ziarah ke makam-makam para wali yang ada di Jawa maupun di luar Jawa.

Hal terpenting lain untuk diketahui juga bahwa amalan Gus Miek sangatlah sederhana dalam praktiknya.

Juga sangat sederhana dalam menjanjikan apa yang hendak didapat oleh para pengamalnya, yakni berkumpul dengan para wali dan orang-orang saleh, baik di dunia maupun akhirat.

Gus Miek seorang hafizh (penghapal) Al-Quran. Karena, bagi Gus Miek, Al-Quran adalah tempat mengadukan segala permasalahan hidupnya yang tidak bisa dimengerti orang lain.

Dengan mendengarkan dan membaca Al-Quran, Gus Miek merasakan ketenangan dan tampak dirinya berdialog dengan Tuhan, beliaupun membentuk sema’an alquran dan jama’ah Dzikrul Ghofilin.

Gus Miek selain dikenal sebagai seorang ulama besar juga dikenal sebagai orang yang nyeleneh, beliau lebih menyukai da’wah di kerumunan orang yang melakukan maksiat seperti diskotik, club malam dibandingkan dengan menjadi seorang kyai yang tinggal di pesantren yang mengajarkan santrinya kitab kuning.

Hampir tiap malam beliau menyusuri jalan-jalan di Jawa Timur keluar masuk club malam, bahkan nimbrung dengan tukang becak, penjual kopi di pinggiran jalan hanya untuk memberikan sedikit pencerahan kepada mereka yang sedang dalam kegelapan.

Ajaran-ajaran Gus Miek yang terkenal adalah suluk jalan terabas atau dalam bahasa indonesia-nya pemikiran jalan pintas.

4. KH Abdullah Salam (Mbah Dullah) Kajen Pati.

KH Abdullah Zen Salam atau yang dikenal sebagai Mbah Dullah Salam adalah salah satu tokoh ulama kharismatik Indonesia yang terkenal dermawan. KH Abdullah Zen Salam lahir di Kajen, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati dan keturunan ke tujuh dari pihak ayah sampai kepada Syaikh Mutamakkin.

Silsilahnya adalah KH. Abdullah Zen Salam bin KH. Abdussalam bin KH. Abdullah bin Nyai Muntirah binti KH. Bunyamin bin Nyai Toyyibah binti KH. Muhammad Hendro bin KH. Ahmad Mutammakin.

Yang jika ditarik garis keturunan menunjukkan beliau, KH. Abdullah Zen Salam masih mempunyai garis darah sampai pada Nabiyullah Muhammad SAW yang tepatnya ketururan ke 35.

Salah satu kisah terkenal dari kedermawanan KH. Abdullah Zen Salam adalah beliau selalu memberi makanan orang-orang setelah mereka selesai mengaji kepadanya, bahkan jika jama'ahnya ratusan hingga ribuan orang dalam satu waktu.

Tidak hanya itu, KH. Abdullah Zen Salam juga tidak ragu dan tidak berat hati untuk memberikan barang pribadinya ketika ada seseorang yang menyatakan tertarik pada barang yang dimilikinya tersebut.

Mengutip buku Keteladanan KH Abdullah Zain Salam (Jamal Ma’mur Asmani, 2018), suatu ketika KH. Abdullah Zen Salam sedang mengenakan sebuah setelan jas, kemudian KH Muslich Abdurrahman memuji kalau jas yang dipakai Mbah Dullah tersebut bagus.

Beberapa saat setelah itu, Mbah Dullah memberikan jasnya itu kepada Kiai Muslich. Hal serupa juga dilakukanya pada Kiai Tamyiz.

Suatu ketika KH. Abdullah Zen Salam memiliki sebuah jas bagus, Kiai Tamyiz yang mengetahui hal itu menjadi tertarik dengan jas yang dimiliki Mbah Dullah tersebut. Tidak lama berselang, KH. Abdullah Zen Salam kembali memberikan jasnya itu untuk Kiai Tamyiz.

Pengasuh Pesantren Al Hikmah Kajen yang merupakan cucu KH. Abdullah Zen Salam, Mujibur Rachman Ma’mun juga menyampaikan kisah terkait kakeknya dengan jasnya.

Suatu ketika KH. Abdullah Zen Salam meminta seorang santrinya membeli kain wol untuk dibuat jas. KH. Abdullah Zen Salam memberikan santri tersebut contoh kain yang dimaksud agar tidak salah beli.

Santri tersebut akhirnya menemukan jenis kain yang dipesan KH. Abdullah Zen Salam tersebut di sebuah mal di Semarang.

Harganya, 3 jutaan per meter. Dia kemudian membawa kain tersebut ke salah seorang penjahit terkenal di Semarang untuk dibikin jas, sesuai dengan arahan KH. Abdullah Zen Salam.

Karena kenal dengan KH. Abdullah Zen Salam, penjahit tersebut menawarkan diri akan mengantarkan jas tersebut ke Kajen manakala sudah jadi, sekaligus sowan ke KH. Abdullah Zen Salam. Tak lama, penjahit yang tersebut datang ke Kajen untuk mengantarkan jas Mbah Dullah yang sudah jadi.

Setelah diantar ke rumah KH. Abdullah Zen Salam, penjahit tersebut ternyata tidak memungut biaya. KH. Abdullah Zen Salam kemudian menjajal jas tersebut. Menurutnya bagus dan enak dipakai, kemudian penjahit tersebut kemudian undur diri.

Beberapa saat kemudian, tamu lain yang tadi ikut sowan ke rumah KH. Abdullah Zen Salam.

Tamu yang baru datang itu dengan basa-basinya berkata kalau jas yang dikenakan KH. Abdullah Zen Salam bagus sekali. Mendengar hal itu, KH. Abdullah Zen Salam langsung bertanya apakah dia suka dengan jas tersebut, dan kata tamu itu "Iya, bagus sekali."

Jas itu dimasukkan lagi ke dalam pembungkusnya. Mbah Dullah kemudian menyerahkan jas tersebut kepada tamu tersebut. “Nek Jenengan remen, monggo Jenengan betho mawon, kangge Jenengan. (Kalau kamu suka, silahkan kamu bawa saja, buat kamu (jasnya),” kata Mbah Dullah kepada tamunya itu.

Begitulah sifat KH. Abdullah Zen Salam yang begitu dermawan. Sampai-sampai barang yang baru sampai di tangannya langsung diberikan kepada orang lain yang tertarik dengan barang tersebut.

5. KH Cholil Bisri Rembang.

KH Cholil Bisri lahir di Rembang tanggal 12 Agustus 1942 bertepatan dengan tanggal 27 Rajab 1263 H.

Mbah Cholil adalah putra pertama dari pasangan KH Bisri Mustofa bin H Zaenal Mustofa dan Nyai Hj Ma’rufah binti KH Cholil Harun Kasingan Rembang.

KH Kholil Harun sendiri merupakan pendiri Pesantren Kasingan Rembang yang pernah mengalami masa keemasan pada tahun 1935 dengan jumlah santri mencapai ribuan. Beberapa alumni yg menjadi tokoh besar, antara lain: KH Bisri Mustofa, KH Machrus Ali Lirboyo, KH Misbah Mustofa Tuban.

Mbah Cholil menikah dengan Nyai Hj Muhsinah binti KH Soimuri Solo dan dikaruniai delapan putera, yakni; Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), Ummi Kalsum Cholil Dzalij, Zaenab Cholil Qotsumah, Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut), Faizah Cholil Tsuqoibak, Bisri Cholil Laquf (Gus Ipul), Muhammad Hanies Cholil Barro’ (Gus Hanies) dan Muhammad Zaim Cholil Mumtaz (Gus Aim).

Pendidikan Mbah Cholil waktu kecil adalah di Sekolah Rakyat 6 Kartioso yang ditempuh dalam waktu lima tahun. Ia langsung diterima di kelas dua dan tidak mau satu kelas dengan adiknya, Gus Mus–KH Mustofa Bisri–yang pada saat bersamaan juga masuk kelas satu.

Selain menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat (1954), Mbah Cholil juga sekolah di Madrasah Ibtidaiyah (1954), kemudian melanjutkan di SMP Taman Siswa (1956) bersamaan dengan sekolah di Perguruan Islam (1956).

Mbah Cholil kemudian melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur (1957), Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta (1960), Aliyah Darul Ulum Mekah (1962), dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Kiai Cholil pernah nyantri kepada KH Machrus Ali, Lirboyo dan KH Ali Maksum Krapyak Yogyakarta.

 

Di bidang organisasi, Kiai Cholil pernah menjadi Ketua GP Ansor Rembang, Ketua Partai NU Rembang (ketika NU menjadi partai sendiri pada 1971), Ketua DPC PPP (ketika NU fusi dengan PPP).

Mbah Cholil juga pernah menjadi A’wan dan Mustasyar PWNU Jawa Tengah, dan Ketua MPW PPP Jawa Tengah.

Keterlibatannya dalam PPP, pada 1982 ia diminta untuk menjadi anggota DPRD Tingkat I, tetapi Mbah Cholil menolak, karena ia berprinsip harus mengurus pesantren.

Waktu itu, ia hanya mau di DPRD Tingkat II, seumur hidup. Terlebih lagi setelah ayahnya meninggal pada 1977, ia memegang tanggung jawab untuk menjadi pengasuh di Pesantren Raudlatut Thalibin sehingga ia hanya tertarik dalam politik lokal.

Di pesantren, Mbah Cholil mengajar banyak kitab diantaranya; bandongan Alfiyah, Syarah Fath al-Muin, Jam’ul Jawami’, dan Ihya’ Ulumuddin.

Ketika NU kembali ke Khittah pada 1984, Kiai Cholil ikut terlibat dalam pemulihan Khittah NU. Dalam Muktamar NU ke-27 (1984), yang merumuskan Khittah NU, Kiai Cholil Bisri menjadi Ketua Panitia Perumus di Komisi Program. Kiai Cholil Bisri pada 1992 menjadi anggota DPR RI dari PPP.

Ketika PKB dideklarasikan pada 23 Juni 1998, Kiai Cholil Bisri menjadi salah satu tokoh penting. Ia menjadi Wakil Ketua Dewan Syuro DPP PKB, dengan Ketua Dewan Syuro KH Ma’ruf Amien dan Ketua Dewan Tanfdiziyah Matori Abdul Djalil.

Keterlibatannya dalam PKB mengantarkannya menjadi anggota DPR dari PKB, bahkan sampai menjadi Wakil Ketua MPR.

Meskipun menjadi politisi, kekiaian Kiai Cholil Bisri tidak luntur. Ia di Rembang tetap mengajar ngaji dan menjadi pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin sampai akhir hayatnya.

Mbah Cholil sangat menyukai kalimat-kalimat hikmah dari Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam al-Hikam, yang terkenal itu.

Mbah Cholil juga dikenal sebagai seorang penulis. Tulisan yang telah diterbitkan adalah Kami Bukan Kuda Tunggang dan Ketika Biru Langit.

Semasa hayat, Kiai Cholil juga dikenal sosok kiai yang jaduk dan banyak gembolan. Karenanya, Kiai Kholil sering menjadi rujukan bagi masyarakat saat terbelit masalah.

Doa dan suwuknya terkenal ces pleng. Tak hanya itu, sifatnya yang pemberani membuat Kiai Kholil sangat disegani oleh semua lapisan masyarakat, mulai pejabat hingga rakyat biasa.

Hari selasa merupakan hari keramat Mbah Cholil. Bagaimanapun sibuknya, Mbah Cholil selalu menyempatkan mengaji bersama santri-santri sepuh pada ngaji “Selasanan”.

Mbah Cholil juga wafat dan dimakamkan pada hari Selasa pada 7 Rajab 1424 H.***

 

Editor: Muhammadun


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah