Malam Satu Suro, Fakta Dibalik Kirab Kebo Bule Kyai Slamet dan Topo Bisu Mubeng Benteng

23 Juli 2022, 15:00 WIB
Malam Satu Suro, Fakta Dibalik Kirab Kebo Bule Kyai Slamet dan Topo Bisu Mubeng Benteng /Tangkapan layar Instagram/ @yudakaringga

BERITA BANTUL - Malam Satu Suro, fakta dibalik kirab kebo bule Kyai Slamet dan Topo Bisu Mubeng Benteng yang dilakukan di Kraton Solo dan Kraton Yogyakarta.

Satu Suro, adalah sebagai awal bulan pertama Tahun Baru Jawa, bertepatan dengan 1 Muharam.

Kalender jawa pertama kali diterbitkan oleh Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo 1940 tahun yang lalu, mengacu penanggalan Hijriyah (Islam).

Baca Juga: Menjelang Malam Satu Suro, Ini 3 Misteri Gunung Lawu, Gunung Terangker di Jawa yang Wajib Kamu Tahu

Di sejumlah daerah di Pulau Jawa, Masyarakat Jawa masih tetap dijalani dengan laku atau lampah bathin dan prihatin.

Sebagaimana dikutip Beritabantul.com dari laman petabudaya.belajar.kemdikbud.go.id dijelaskan sebagai berikut.

Lelaku malam 1 Suro, tepat pada pukul 24.00 saat pergantian tahun Jawa, diadakan secara serempak di Kraton Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat sebagai pusat kebudayaan Jawa.

Di Kraton Surakarta Hadiningrat kirab malam 1 Suro dipimpin oleh kebo bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah. Kebo Bule merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat.

Di belakang kebo bule barisan berikutnya adalah para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka, kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri.

Kebo bule menjadi salah satu daya tarik bagi warga yang menyaksikan perayaan malam satu Suro dan konon dianggap keramat oleh masyarakat setempat.

Baca Juga: Inilah TEMPAT Terkenal yang Dijadikan Ajang Ritual Malam 1 Suro, Nomor 2 Keraton Yogyakarta, Kenapa?

Kebo Bule Kyai Slamet. Bukan sembarang kerbau, karena hewan ini termasuk pusaka penting milik keraton.

Dalam buku Babad Solo karya Raden Mas (RM) Said, leluhur kebo bule adalah hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II, sejak istananya masih di Kartasura, sekitar 10 kilometer arah barat keraton yang sekarang.

Menurut seorang pujangga kenamaan Keraton Kasunanan Surakarta, Yosodipuro, leluhur kerbau dengan warna kulit yang khas, yaitu bule (putih agak kemerah-merahan) itu, merupakan hadiah dari Kyai Hasan Beshari Tegalsari Ponorogo kepada Paku Buwono II, yang diperuntukkan sebagai cucuk lampah (pengawal) dari sebuah pusaka keraton yang bernama Kyai Slamet saat beliau pulang dari mengungsi di Pondok Tegalsari ketika terjadi pemberontakan pecinan yang membakar Istana Kartasura.

Sementara itu di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat memperingati Malam 1 Suro dengan cara mengarak benda pusaka mengelilingi benteng kraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya.

Baca Juga: SEJARAH Malam 1 Suro dan Acara di Parangtritis Yogyakarta, yang Sangat Disakralkan oleh Warga Jogja

Selama melakukan ritual mubeng beteng tidak diperkenankan untuk berbicara seperti halnya orang sedang bertapa. Inilah yang dikenal dengan istilah tapa mbisu mubeng beteng.

Para abdi dalem keraton, beberapa hasil kekayaan alam berupa gunungan tumpeng serta benda pusaka menjadi sajian khas dalam iring-iringan kirab yang biasa dilakukan dalam tradisi Malam Satu Suro.

Perayaan tradisi peringatan malam satu Suro menitikberatkan pada ketentraman batin dan keselamatan.

Karenanya, pada malam satu Suro biasanya selalu diselingi dengan ritual pembacaan doa dari semua umat yang hadir merayakannya. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan berkah dan menangkal datangnya marabahaya.

Baca Juga: MENCENGANGKAN Ini Beberapa Mitos Pada Malam Satu Suro Menurut Orang Jawa, Nomor 6 Sering Terjadi

Selain itu, masyarakat Jawa pada umumnya selalu berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan melakukan hal kebaikan sepanjang bulan satu Suro.

Tradisi saat malam satu suro bermacam-macam tergantung dari daerah mana memandang hal ini, sebagai contoh Tapa Bisu, atau mengunci mulut yaitu tidak mengeluarkan kata-kata selama ritual ini.

Yang dapat dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri, berkaca pada diri atas apa yang dilakoninya selama setahun penuh, menghadapi tahun baru di esok paginya. ***

Editor: Ahmad Lailatus Sibyan

Tags

Terkini

Terpopuler