Press Release Pameran Seni Rupa Plered Bubrah 2022, 7 Hari Nonstop untuk Budaya Nusantara

31 Juli 2022, 15:29 WIB
Pameran Seni Rupa Pleredt Bubrah 2022 /Istimewa/Alim Backtiar

 

BERITA BANTUL - Plered bubrah adalah sebuah wilayah berupa dam bendungan sungai yang telah rusak di wilayah Pranti, padukuhan Onggopatran, Srimulyo, Piyungan Bantul, Yogyakarta.

Bendungan ini dibangun sewaktu zaman Hindia Belanda dan dalam perkembangannya mengalami kerusakan untuk kemudian diganti dengan bendungan baru yang lebih modern.

Kini bendungan hancur itu tinggal menjadi kenangan yang hidup dalam memori warga Onggopatran.

Baca Juga: Ini Tembang yang Mengisahkan Kisah Hidup Manusia, Kamu Harus Tahu Kalau Ingin Bahagia Kata Gus Muwafiq

Memori kolektif inilah yang kemudian digali dan menjadi tema pameran seni rupa kampung yang penyelenggaraannya ditujukan untuk menyemarakkan acara tahunan pedukuhan yaitu Dekahan Gedhe Onggopatran.

Pameran ini ditujukan untuk membuka memori kembali akan nilai sebuah bendungan yang pada dasarnya berhubungan dengan dunia pertanian berikut sosial budayanya.

Sebagian besar masyarakat pedukuhan Onggopatran berprofesi sebagai petani, buruh, dan wiraswasta.

Keberadaan sebuah bendungan tentu dirasakan sangat penting dalam mengairi area persawahan dan kebutuhan pertanian lainnya.

Baca Juga: 4 Keistimewaan Bayi yang Lahir Pada Malam 1 Suro, Nomor 3 Mempunyai Daya Supranatural dan Spiritual Tinggi

Bendungan di daerah Onggopataran merupakan tempat untuk membendung aliran air dari kali buntung yang membelah wilayah pedukuhan Onggopatran.

Sebagaimana dunia pertanian di waktu sekarang mengalami bermacam permasalahan terutama dengan semakin menyempitnya lahan pertanian.

Juga semakin berkurangnya pasokan air dikarenakan menipisnya hutan dan desakan pembangunan kota yang terus melebar ke wilayah sekelilingnya.

Wilayah pertanian semakin terdesak oleh kebutuhan perumahan di mana seiring waktu Yogjakarta menjadi wilayah yang sangat padat.

Baca Juga: Ini yang Akan Terjadi Jika Anda Lahir di Malam Satu Suro, Ngeri!

Dikarenakan lonjakan penduduknya dan para pendatang yang melakukan studi pendidikan di daerah istimewa ini.

Hal ini semakin bertambah pula dengan kebutuhan dunia usaha dan industri di Yogyakarta yang tentu saja semakin memakan wilayah daerah pendukung di luar kota Yogyakarta.

Daerah kelurahan Srimulyo, Piyungan adalah salah satu tempat yang mengalami pembangunan yang sangat pesat.

Terutama dengan dibangunnya sebuah sentra industri yang cukup besar.

Baca Juga: MISTERI GUNUNG LAWU, Burung Jelmaan Kyai Jalak, Suara Tangisan, Hingga Larangan Mendaki dengan Jumlah Ganjil

Hal ini tentu berdampak pula pada perputaran roda ekonomi, perubahan sosial budaya dan juga permasalahan lingkungan. 

Dalam dunia pembangunan yang seringkali berjalan cepat, banyak terjadi tarik menarik kepentingan antara kebutuhan industri dengan keadaan alam dan sosial lingkungannya.

Lahan-lahan menjadi sangat penting, dan sudah menjadi gejala umum apabila tanah-tanah pertanian berubah dan dialihfungsikan sebagai tempat industri dan lainnya.

Pameran seni rupa “Plered Bubrah” ini pada dasarnya adalah sebuah respon ketika di dekat Plered Bubrah itu di bangun sebuah bangunan yang difungsikan sebagai sekolah anak PAUD dan balai pertemuan warga desa.

Baca Juga: Link Nonton Film Sultan Agung dan Sunan Kalijaga pada Malam 1 Suro Penuh Dengan Adegan Mistis dan Keramat

Bangunan ini terasa menjadi tempat yang unik, walaupun secara kasat mata keberadaannya terlihat biasa.

Bangunan yang difungsikan sebagai sarana pendidikan anak-anak menjadi penting dalam perkembangan mendidik anak-anak di wilayah pedukuhan ini.

Dunia anak-anak adalah dunia yang unik, merdeka dan segar, dan dunia mereka sangat dekat dengan imajinasi, mimpi-mimpi dan tentu saja dunia gambar. 

Gambar menjadi penting dalam menyalurkan ekspresi kemurnian, dan spontanitas.

Baca Juga: Sejarah Kenapa Malam 1 Suro Keramat, Ternyata Itu Tradisi Dari Sultan Agung Untuk Menyatukan Penduduk Jawa

Karena kedekatan inilah maka maka pameran senirupa di gedung PAUD baru di daerah Plered Bubrah ini diselenggarakan.

Tentu saja pameran ini terbilang sederhana dan mungkin tidak memenuhi standar pameran seni rupa pada umumnya.

Tempat ini bukanlah tempat yang mapan dan sudah rutin digunakan, namun apalah artinya kemapanan apabila juga tidak menjadi simpul bagi perkembangan budaya di wilayahnya?

Seni yang mendekatkan dirinya pada kemerdekaannya terasa menjadi hal yang menarik, gagah atau mungkin konyol.

Baca Juga: Malam Satu Suro, Fakta Dibalik Kirab Kebo Bule Kyai Slamet dan Topo Bisu Mubeng Benteng

Tapi dalam dunia seni, sebuah kekonyolan pun bila diolah dengan menarik, penuh kemaksimalan dan keikhlasan akan menjadi unik dan menarik.

Bukankah seni seringkali berawal dari gagasan sepele sederhana, konyol, rusak, tidak umum, pinggiran seringkali membuat kejutan dan gagasan tak terpikirkan?

Seni mungkin akan berada dalam wilayahnya yang bebas.

Mengembalikan seni pada kebebasan dari bermacam bentuk dominasi, kebukan wacana, gengsi, kemilau eksentrik namun genit akan memposisikan seni pada dirinya yang merdeka yang membuka bermacam kemungkinan.

Proses seni yang dapat dilakukan oleh siapa saja, di mana saja, gagasan apa saja tanpa penjara dan batasan beku.

Seni yang terkukung batasan kaku akan membuat seni tidak memiliki kesegaran baru.

Pameran seni rupa dengan ide kecil, memanfaatkan kemungkinan potensi lingkungannya terasa menarik selagi ia menampung segala mimpi dan gagasan lingkungannya.

Pameran yang dilakukan di desa-desa, tempat terpencil, atau tempat yang tidak popular terasa otentik, dan apa adanya akan membuka dialog budaya akar rumput yang mungkin selama ini kurang tergarap.

Walaupun dialog itu pada awalnya mungkin akan canggung, saling tak mengerti akan tetapi hal ini tetap saja menjadi proses menantang dan saling belajar antara seniman dan audiensnya.

Pameran Plered Bubrah berawal dari titik kesederhanaan, menjadikan wilayah desa menjadi bagian budaya.

Budaya yang mungkin selama ini hanya terpusat pada wilayah perkotaan akan ditarik pada titik sumbu desa-desa.

Desa menjadi sebuah arena dialog seni budaya, desa bisa belajar kembali akan dunia yang mungkin di zaman lampau menjadi pusat kebudayaan, di mana para intelektual, dan pelaku budaya banyak berdiam, mengajar dan berproses dalam wilayah pedesaan.

Selain masalah ekonomi, desa bisa kembali mempunyai lumbung budaya yang mungkin mati atau berpindah pada pusat kekuasaan ekonomi dan politik. 

Ketahanan kebudayaan desa menjadi menarik, bukan hanya desa selalu dalam posisi sebagai konsumen budaya perkotaan, tapi desa bisa menciptakan dan menawarkan bentuk-bentuk budaya yang khas yang dihasilkannya.

Pameran Seni Rupa Pleredt Bubrah 2022 Alim Backtiar

Desa tidak sekedar sesuatu diunik-unikkan dengan bungkus eksotik dan sandangan budaya tapi desa itu hidup secara mandiri.

Desa bukan sekedar perpanjangan birokrasi dan politik kebudayaan penguasa tapi desa bisa menciptakan sistem budayanya sendiri.

Mungkin ini adalah gagasan muluk naif kekananakan, namun dengan begitu kita belajar dan menelaah kembali akar budaya beserta kemurniannya.

Berproses bersama di desa-desa menjadi hal yang penting ketika semua struktur budaya hanya terpusat pada wilayah perkotaan dan pusat kekuasaan.

Lumbung budaya desa perlu diisi kembali guna mencukupi kebutuhan masyarakat desa akan seni budayanya.

Desa-desa seperti pedukuhan Onggopatran bisa menjadi salah satu tawaran dari sekian macam kegiatan senirupa yang terjadi di Indonesia, terutama di wilayah Yogyakarta.***

Alim Bakhtiar

(pegiat budaya komunitas Podjok Piyungan Yogyakarta)

Editor: Ahmad Syaefudin

Tags

Terkini

Terpopuler