BERITA BANTUL - Pramoedya Ananta Toer terkenal sebagai pengarang novel tahun 1940-an dengan novelnya, antara lain, Keluarga Gerilya dan Perburuan.
Dia lahir di Blora, Jawa Tengah, tanggal 6 Februari 1925 dan meninggal di Jakarta 30 April 2006. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer.
Karya-karyanya sudah sangat luar biasa dan sangat dikenang oleh para sastrawan-sastrawan legenda yang ada di Indonesia.
Baca Juga: Puisi Gus Mus yang Melukiskan Kegetiran Indonesia Karena Korupsi, Baca dan Resapi Maknanya
Salah satunya yang berjudul Puisi Untuk Ayah yang sangat luar biasa kandungan dalam bait-bait puisi yang dirangkum BeritaBantul.com.
PUISI UNTUK AYAH
Tidak, Bapak, aku tak akan kembali ke kampung. Aku mau pergi yang jauh (Gadis Pantai. hal. 269)
Sebenarnya, aku ingin kembali, Ayah
Pulang ke teduh matamu
Berenang di kolam yang kau beri nama rindu
Aku, ingin kembali
Pulang menghitung buah mangga yang ranum di halaman
Memetik tomat di belakang rumah nenek.
Tapi jalanan yang jauh, cita-cita yang panjang tak mengizinkanku,
Mereka selalu mengetuk daun pintu saat aku tertidur
Menggaruk-garuk bantal saat aku bermimpi
Aku ingin kembali ke rumah, Ayah
Tapi nasib memanggilku
Seekor kuda sembrani datang, menculikku dari alam mimpi
Membawaku terbang melintasi waktu dan dimensi kata-kata
Aku menyebut pulang, tapi ia selalu menolaknya
Aku menyebut rumah, tapi ia bilang tak pernah ada rumah
Aku sebut kampung halaman, ia bilang kampung halaman tak pernah ada
Maka aku menungganginya
Maka aku menungganginya
Menyusuri hutan-hutan jati
Melihat rumput-rumput yang terbakar di bawahnya
Menyaksikan sepur-sepur yang batuk membelah tanah Jawa
Arwah-arwah pekerja bergentayangan menuju ibu kota,
Mencipta banjir dari genangan air mata
Arwah-arwah buruh menggiring hujan air mata, mata mereka menyeret banjir
Kota yang tua telah lelah menggigil, sudah lupa bagaimana bermimpi dan bangun pagi
Hujan ingin bercerai dengan banjir
Tapi kota yang pikun membuatnya bagai cinta sejati dua anak manusia
Aku tak bisa pulang lagi, Ayah, kuda ini telah menambatkan hatiku di pelananya
Orang-orang datang ke pasar malam, satu persatu, seperti katamu
Berjudi dengan nasib, menunggu peruntungan menjadi kaya raya
Tapi seperti rambu lalu lintas yang setia, sedih dan derita selalu berpelukan dengan setia
Aku tak bisa pulang lagi, Ayah, kuda ini telah menambatkan hatiku di pelananya
Orang bilang, apa yang ada di depan manusia hanya jarak. Dan batasnya adalah ufuk. Begitu jarak ditempuh sang ufuk menjauh. Yang tertinggal jarak itu juga-abadi. Di depan sana ufuk yang itu juga-abadi. Tak ada romantika cukup kuat untuk dapat menaklukan dan menggenggamnya dengan tangan-jarak dan ufuk abadi itu
Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa
Baca Juga: Kiai Dapat Kiriman Komputer Gus Dur, Malah Ketakutan Luar Biasa, Ternyata Ini Penyebabnya
Semoga bermanfaat dan bisa memaknai diksi yang dihadirkan oleh sang sastrawan Pramoedya Ananta Toer.