Apa itu Hukum Wadh’i? Simak Macam-Macam dan Contohnya

- 27 November 2022, 20:56 WIB
Susah Bangun Shalat Tahajjud? Ini Caranya Agar Bangun Malam Menurut Imam Al Haddad
Susah Bangun Shalat Tahajjud? Ini Caranya Agar Bangun Malam Menurut Imam Al Haddad /pixabay/

RELIGION - Apa itu Hukum Wadh’i? Simak Macam-Macam dan Contohnya.

Hukum wadh’i merupakan salah satu jenis hukum syariat Islam menurut ulama ushul fikih, selain juga hukum taklifi.

Sederhananya, hukum wadh’i merupakan hukum kondisional yang menyertai hukum taklifi.

Baca Juga: Gus Baha Ungkap 10 Golongan Orang yang Mati Syahid dan Dijamin Masuk Surga, Nomor 9 Banyak Berada di Indonesia

Sedangkan hukum taklifi sendiri berkaitan perkara haram, halal, sunnah, makruh, dan mubah.

Kelima hukum tersebut disertai dengn hukum kondisional. Misalnya, perkawinan menjadi sebab halalnya hubungan suami istri.

Perkawinan yang menjadi sebab mubahnya hubungan suami istri termasuk bahasan dalam hukum wadh’i.

Karena sebelum laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tidak boleh berkhalawat atau bisa disebut dengan berduan.

Apalagi berhubungan badan. Selepas perkawinan, hal-hal terlarang antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram menjadi halal dan boleh dilakukan.

Orang mukalaf adalah sosok yang sudah balig atau cukup umur, berakal sehat tidak mabuk atau hilang kesadaran, dan tidak tidur dalam kondisi sadar.

Baca Juga: Ada Wali kalau Masuk Surga Tidak Mau Melihat Allah, Begini Alasannya Kata Gus Baha

Hal tersebut sudah tergambar dalam sabda Rasulullah SAW. “Pena diangkat dari tiga golongan, yaitu orang tidur sampai dia bangun, anak-anak sampai dia baligh, dan dari orang yang gila sampai dia sadar atau berakal.” [HR. Ibnu Majah].

Macam-macam hukum wadh’I

Pertama, Sebab, merupakan tanda hingga lahirnya hukum Islam. Tanpa tanda seorang mukalaf tidak dibebani hukum syariat.

Misal, tanda balig merupakan sebab bagi kewajiban hukum-hukum Islam. Anak kecil yang belum cukup umur tiak wajib shalat, puasa, atau menjalankan ibadah fardhu lainnya.

Contohnya: ketika seseorang menyaksikan hilal 1 Ramahan, umat Islam diwajibkan untuk berpuasa. Berdasarkan hal itu, hilal adalah sebab bagi kewajiban puasa.

Kedua, Syarat, suatu ibaah atai perkara syariat lazimnya mewajibkan adanya syarat yang harus dipenuhi.

Tanpa adanya syarat, perkara itu batal dan tidak oleh dikerjakan. Misalnya, saksi adalah syarat sahnya pernikahan dan niat menjadi syarat sahnya puasa.

Tanpa saksi atau niat, maka kedua perkara tadi batal dan dianggap tidak sah.

Baca Juga: KH Sholeh Amin Tayu, Waliyullah Keturunan Syekh Mutamakkin yang Jadi Mustasyar PBNU

Ketiga, Penghalang [Mani’], kendati seseorang dibebankan perkara syariat, namun karena aanya penghalang, perkara itu menjadi batal.

Misalnya, seoran anak berhak memperoleh warisan, namun apabila ia murtad, warisan itu tidak boleh ia terima.

Murtad adalah penghalang dari hak warisannya dalam keutamaan Islam.

Keempat, Azimah dan Rukhsah, suatu ibadah dalam kondisi azimah maksudnya berada dalam hukum asli perkara tersebut. Hukum asal yng belum berubah.

Misalnya, hukum shlat lima waktu adalah wajib bagi seluruh mukalaf. Saking wajibnya, orang sehat dan sakit pun tetap wajib shalat.

Jika tidak bisa shalat brdiri maka dengan cara duduk, berbaring hingga shalat dengan isyarat saja.

Rukhsah adalah keringanan sebagai pengecalian dari kondisi azimah. Misalnya, seorang haram memakain bangkai atau daging babi.

Namun, jika tidak ditemukan makanan lain sehingga seorang tersebut terancam mati kelaparan, maka ia memperoleh rukhsah boleh memakan bangkai tau daging babi.

Baca Juga: 8 Rekomendasi KUPI 2 di Bangsri Jepara Soroti Isu-isu Strategis untuk Peradaban yang Berkeadilan

Kelima, Sah dan batal, suatu perkara dianggap sah apabila sesuai dengan perintah syariat dan mendatangkan pahala di akhirat.

Apabila ibadah wajib sudah sah dilakukan, kewjiban gugur dan mukalaf terbebas ari tanggung jawabnya.

Sementara itu apabila perkara syariat dianggap batal, ibadah itu tidak mendatangkan pahala di akhirat.

Selain itu, apabila ibadah wajib dianggap batal, kewajibannya belum gugur dan mukalaf harus mengulangi lagi ibadah tersebt hingga memperoleh status sah.***

Penulis: Mahasiswa Dika Ayu Pramesti, Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam, STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta.

Editor: Ahmad Syaefudin


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x