31 Desember 2009, Detik-detik Pemakaman Gus Dur Dihadiri Jutaan Manusia Indonesia

- 31 Desember 2022, 11:59 WIB
31 Desember 2009, Detik-detik Pemakaman Gus Dur Dihadiri Jutaan Manusia Indonesia
31 Desember 2009, Detik-detik Pemakaman Gus Dur Dihadiri Jutaan Manusia Indonesia /facebook/adib/

TOKOH - 31 Desember 2009, Detik-detik Pemakaman Gus Dur Dihadiri Jutaan Manusia Indonesia.

31 Desember adalah detik akhir tahun yang selalu digunakan untuk persiapan pesta menyambut tahun baru dengan berbagai kegiatan atau wisata. 

Tapi pada 31 Desember 2009, jutaan manusia Indonesia justru datang bak lautan manusia menuju Pesantren Tebuireng Jombang untuk memberi penghormatan atas pemakaman jenazah KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. 

Baca Juga: Silsilah Nasab Gus Dur Sampai Rasulullah Dibenarkan Oleh Seorang Habib, Jalurnya Melalui Joko Tingkir!

Gus Dur dinyatakan meninggal dunia pada pukul 18.45 WIB, Rabu, 30 Desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Penyebab meninggalnya dikarenakan komplikasi penyakit yang sudah dideritanya sejak lama.

Sebagai mantan Presiden RI, upacara pemakaman Gus Dur menjadi tanggungjawab negara. Maka, Protokol Istana Kepresidenan ambil alih proses pemakaman Gus Dur agar sesuai dengan tata cara kenegaraan. 

Tapi, itu tak bisa sepenuhnya dilaksanakan, karena Gus Dur dicintai jutaan manusia, apalagi kabar wafatnya Gus Dur membuat manusia Indonesia, khususnya warga nahdliyyin berduyun-duyun menuju Tebuireng Jombang. 

Maka, kompromi aturan kenegaraan dan tradisi umat Islam di Indonesia tak bisa dielakkan. Berikut ini adalah kesaksian Thanon Aria Dewangga yang saat itu bekerja di staf protokoler Istana. 

Kesaksian tersebut dikutip dari catatannya di facebook pribadinya yang diunggah pada 6 Januari 2010. Simak selengkapnya berikut ini.

Baca Juga: Ini yang Dirasakan Gus Yahya Saat Gus Dur Wafat 30 Desember 2009

Hari Rabu, tanggal 30 Desember 2009 saya pulang cepat. Kebetulan saya tidak bawa mobil sehingga saya pulang dengan menggunakan busway. Agak repot juga karena cuaca hujan sehingga dering dan getar HP saya tidak terasa saat perjalanan.

Saat saya tiba di Halte Jati Padang, barulah saya lihat HP saya dan terkejut ada pesan yang berisi informasi telah meninggal dunia Presiden RI ke-4 Bapak K.H. Abdurrahman Wahid. Segera saya mencari ojek dan menuju rumah untuk memonitor perkembangan berita tersebut via televisi dan telepon ke beberapa rekan.

Ternyata berita itu benar. Dan saya merasa yakin hari ini pasti menjadi hari yang melelahkan buat saya. Apalagi terdengar kabar bahwa jenazah akan dikebumikan secara kenegaraan di Jombang. Akhirnya pukul 19.30 saya mendapat telepon untuk bersiap-siap ke Jombang dengan beberapa kawan untuk berdinas disana.

Saya pun berkemas dan segera menuju Halim Perdanakusuma (kami menaiki Hercules karena pesawat komersil sudah tidak memungkinkan). Memang cukup mendebarkan mengingat track record Hercules TNI AU yang kurang baik namun tugas tetap tugas yang harus dijalankan dan kami pun take off menuju Surabaya tepat pukul 01.00 dinihari.

Setibanya di Surabaya, saat itu pukul 03.00 kami langsung bergerak menuju Jombang dan perjalanan memakan waktu 1 jam 30 menit. Setibanya kami di Pondok Pesantren Tebuireng kami berkoordinasi dengan pihak keluarga dan Kasgar Surabaya perihal susunan acara sampai peninjauan lapangan dan merasa yakin bahwa persiapan sudah dilakukan dengan cukup matang.

Setelah itu kami melihat pendopo Bupati Jombang sebagai transit Presiden selaku Inspektur Upacara pemakaman. Disana kami checking kurang lebih 30 menit akhirnya kami menuju Hotel Fatma untuk beristirahat dan mandi untuk persiapan acara.

Pukul 08.30 kami bergerak kembali menuju Pondok Pesantren Tebuireng. Disana kami berkoordinasi kembali, terutama dengan pihak keluarga yang diwakili oleh Bapak Sholahudin Wahid (Gus Solah).

Dari pihak keluarga menginginkan upacara pemakaman sedikit dimodifikasi mengingat ketokohan Gus Dur yang begitu universal dan sangat dicintai oleh khususnya warga NU sehingga prosesi pemakaman perlu disesuaikan dengan tidak melanggar kaidah-kaidah yang ada dan diyakini oleh umat Islam.

Salah satunya sebagai contoh adalah keinginan menurunkan jenazah dengan tidak menggunakan peti. Alhamdullilah kendala-kendala tersebut dapat kami carikan solusinya semata-mata hanya memberikan jalan agar kaidah kenegaraan dan kaidah keagamaan dapat digabungkan untuk menghormat tokoh sekaliber Gus Dur.

Ternyata bukan kesulitan penyusunan skenario acara yang kami hadapi, namun yang sulit adalah bagaimana membendung antusiame warga untuk menyaksikan Gus Dur terakhir kali. Ini yang luar biasa. Dan terus terang tidak ada dalam benak kami antisipasi pemikiran setting tata tempat pemakaman dan jumlah undangan yang hadir.

Bayangkan saja, dari Jakarta pejabat dan keluarga yang hadi untuk acara ini (termasuk Presiden dan Wapres) disiapkan 5 pesawat khusus. Belum termasuk warga sekitar dari Jawa Timur dan tidak ketinggalan dari Solo, Bali dan Nusa tenggara Timur hadir tumplek semua di Jombang untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Gus Dur.

Hal ini di luar skenario perhitungan dari kita semua. Harapan untuk menyelenggarakan upacara kenegaraan dengan tertib dan khidmat ternyata tidak dapat dilaksanakan. Dari pihak keluarga pun mengharapkan kiranya prosesi ini tidak berlangsung kaku namun lebih fleksibel mengingat luasnya pengaruh serta pergaulan Gus Dur.

Terlihat pada saat detik-detik kedatangan jenazah di Jombang, masuarakat tumpah ruah sampai-sampai jalan di sekitar pondok pesantren tertutup oleh lautan manusia. Pihak keluarga pun memutuskan untuk menyolatkan jenazah dua kali yaitu shalat pertama dilaksanakan di sebuah mesjid yang terletak 300 m dari pondok pesantren dan shalat kedua diperuntukkan bagi para kyai dan pejabat yang akan dilaksanakan di pondok pesantren.

Beberapa saat sebelum jenazah tiba di mesjid pertama, masyarakat semakin banyak berdatangan dan terkesan tidak terkendali. Fanatisme mereka akan ketokohan Gus Dur sangat terasa, merinding rasanya melihat kerumunan massa yang tumpuk di pagar depan pondok pesantren. Bahkan ambulans pun kesulitan untuk masuk ke mesjid pertama, shalat jenazah pun dilaksanakan sampai 3 gelombang mengingat banyaknya massa yang ingin menyolatkan alm. Gus Dur.

Setelah shalat, jenazah dibawa ke pondok pesantren. Itu pun mengalami kesulitan untuk memasuki areal pesantren. Demikian juga dengan mobil keluarga. Massa pun tidak terkendali dan merangsek masuk ke dalam pondok pesantren saat mobil jenazah masuk sehingga pondok pun tumpah ruah oleh lautan massa.

Sangat tidak terkendali, bahkan saya bisa gambarkan situasi saat itu hampir sama seperti di stadion sepakbola pada saat supporter berebut ingin masuk ke stadion sepakbola. Hal ini tentu menyulitkan khususnya bagi pengamanan untuk mengatur kehadiran Presiden dan Wapres.

Terus terang saya tegang karena khawatir Presiden tidak dapat hadir karena tertutupnya jalur namun Alhamdullilah kecekatan pihak pengamanan dapat mengantisipasi sehingga perjalanan Presiden lancar menuju pondok pesantren.

Tiba di pondok pesantren, Presiden langsung menuju tempat upacara pemakaman. Prosesi berlangsung dengan lancar dan ada beberapa penyesuaian dari protap upacara kenegaraan dengan keinginan dari keluarga serta masyarakat.

Jadilan suatu upacara pemakaman yang menurut saya sangat berkesan karena betul-betul merupakan penggabungan upacara kenegaraan dalam kapasitas Gus Dur sebagai mantan Presiden dan mantan panglima tertinggi angkatan bersenjata dikombinasikan dengan upacara pemakaman versi keluarga dan tradisi masyarakat Islam di Indonesia. Suatu kompromi yang luar biasa.

Saya mohon maaf tidak dapat menggambarkan secara detail keterangan di atas namun bisa teman-teman perhatikan atau membandingkan prosesi pada saat pemakaman Presiden Soeharto dengan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid.

Terus terang, pada saat detik-detik jenazah masuk ke liang lahat tidak sadar ada rasa haru di dalam diri saya. Karena banyak sekali yang telah beliau lakukan baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk saya pribadi.

Akhirnya selesai sudah prosesi. Tim yang terdiri dari 14 petugas Istana dan 20 Paspampres terlihat sangat letih, wajahnya kuyu dan kelihatan tidak bertenaga. Namun demikian, rasa lelah tidak kami rasakan.

Kami tidak makan, bahkan tidak tidur mulai saat perjalanan dari Jakarta sampai acara selesai.

Ditambah lagi saat pulang ke Jakarta, karena kemeriahan Tahun Baru kami yang berhenti di stasiun Gambir terpaksa jalan kaki hampir 2 km(Gambir-kantor) karena tidak ada ojek. Semata-mata hanya ingin memberikan penghormatan terakhir kepada tokoh yang kita cintai.

Demikian kesaksian staf protokoler Istana yang saat itu bertugas dalam detik-detik pemakaman jenazah Gus Dur di Pesantren Tebuireng Jombang, 31 Desember 2009.***

Editor: Amrullah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x