Network
"Kekaguman dan kecocokan saya dengan figur Cak Nun saat itu masih sebatas pada kebengalannya dalam memotret fenomena kehidupan yang dirasakannya sangat monoton sehingga membelenggu cara pandangnya yang bebas dan terkesan anti kemapanan era Soeharto," kisah Kiai Muhaimin.
Tak mengherankan, lanjutnya, jika kemudian Cak Nun lebih dekat dengan Rendra dengan komunitas kaum urakannya.
"Dari tulisan Cak Nun yang paling berkesan saya baca berjudul Slilit Sang Kyai," kata Kiai Muhaimin.
Sudah terlihat dari judulnya, kata Kiai Muhaimin, cara Cak Nun mengkritik kemapanan kiai sebagai figur kharismatis yang asyik berada di zona nyaman.
"Sementara di luar sana masyarakat menemukan penghiburan dunia profan tersendiri yang tidak tersentuh oleh otoritas kiai," tutur Kiai Muhaimin.
Baca Juga: Cak Nun Ngaku Kesambet Hingga Disidang Keluarga, Nasihat Gus Mus Ternyata Sangat Manjur!
Dengan kelompok Kyai Kanjeng yang dinakhodainya, lanjutnya, Cak Nun mempertemukan ruas sambung antara alam spiritualitas keagamaan dengan alam nyata kehidupan profan.
"Tak mengherankan jika di tengah-tengah berlangsungnya pentas Kyai Kanjeng tiba-tiba datang seseorang sambil menangis untuk minta doanya," katanya.
Bahkan, sambungnya, saat berakhirnya Maiyahan berduyun duyung ibu-ibu bersalaman sambil menggendong anaknya berdesak-desakan sekedar menyodorkan kepala si kecil untuk dielus oleh Cak Nun atau seorang perempuan yang sedang hamil agar diusap perutnya.
"Dengan setting panggung Maiyah yang dibuat rendah dan menyatu dengan ribuan masyarakat yang hadir dalam setiap penampilannya, menunjukkan Cak Nun adalah manusia yang tidak memiliki birokrasi struktural maupun birokrasi kultural dalam menyapa, merangkul dan memeluk semua yang dibersamainya," tegas Kiai Muhaimin.
