Profil Singkat KH Ahmad Nafi Abdillah Kajen, Ulama Ahli Fiqih yang Jadi Mursyid Thariqoh

- 27 Juli 2023, 08:42 WIB
Profil Singkat KH Ahmad Nafi Abdillah Kajen, Ulama Ahli Fiqih yang Jadi Mursyid Thariqoh
Profil Singkat KH Ahmad Nafi Abdillah Kajen, Ulama Ahli Fiqih yang Jadi Mursyid Thariqoh /facebook/jamal/

TOKOH - Profil Singkat KH Ahmad Nafi Abdillah Kajen, Ulama Ahli Fiqih yang Jadi Mursyid Thariqoh.

Kedalaman ilmu, kebeningan hati, keagungan moral, dan kearifan hidup tidak lahir tiba-tiba.

Ia membutuhkan asupan ilmu, bimbingan rohani, dan pancaran cahaya Ilahi dari orang-orang di sekitarnya.

Baca Juga: Cara Hati dan Lisan Tersambung dalam Dzikir Menurut Habib Luthfi bin Yahya

Peran keluarga dan lingkungan sangat vital untuk membentuk pribadi agung di atas. Salah pribadi agung tersebut adalah KH. Ahmad Nafi’ Abdillah.

Beliau lahir dari lingkungan keluarga yang sangat religius, keluarga yang mengutamakan internalisasi nilai-nilai karakter religi yang sangat dalam. KH. Abdullah Zein Salam (Mbah Dullah) adalah sosok yang sangat tegas dan teguh memegang prinsip.

Sebagaimana penuturan al-Marhum dan al-Maghfurlah KH. MA. Sahal Mahfudh ketika penulis wawancarai, KH. Abdullah Zein Salam selalu masang target kepada anak didiknya dalam belajar.

Ketika Kiai Sahal belajar di Pondok Pesantren Bendo Kediri, Mbah Dullah memasang target yang tinggi kepada Kiai Sahal untuk menguasai fan ilmu ini dan itu.

Kiai Sahal menjadi terpacu dengan target tinggi ini untuk terus meningkatkan kapasitas keilmuan dari waktu ke waktu, sehingga tidak ada waktu luang kecuali digunakan untuk muthala’ah, muthala’ah, dan muthala’ah.

Mbah Dullah sebagaimana penuturan murid beliau al-Marhum al-Maghfurlah KH. Syafi’uddin (Pengasuh Pondok Pesantren Dhiyaul Qur’an Kajen) ketika mengajar al-Qur’an menerapkan prinsip disiplin dan tegas.

Ketika santrinya kurang cepat menyerap ilmu yang diberikan atau dalam membaca al-Qur’an banyak kesalahan, maka tidak segan-segan Mbah Dullah menegur dan memberikan peringatan.

Dalam mendidik putra-putrinya, Mbah Dullah juga sangat tegas dan jauh dari kesan memanjakan.

Beberapa sumber yang penulis ingat mengatakan, Mbah Dullah tidak memanggil putra-putrinya dengan panggilan Gus-Neng, tapi langsung dengan namanya, supaya tidak ada rasa sombong dalam hati putra-putrinya.

Mbah Dullah juga tidak segan-segan menghukum anaknya ketika melakukan pelanggaran.

Hal sama juga dilakukan KH. Mahfudh Salam, ayahanda KH. MA. Sahal Mahfudh dan kakak KH. Abdullah Zein Salam dalam mendidik anak-anaknya.

Menurut Kiai Sahal, ketika beliau membaca al-Qur’an ternyata banyak kesalahan, maka ayahandanya langsung menegur dan memberi hukuman, tentu yang mendidik.

Kiai Sahal ketika takut, maka beliau langsung lari menuju kediaman kakeknya KH. Abdussalam dan ketika lari ke pangkuan kakeknya, maka KH. Mahfudh Salam tidak berani menyusul Kiai Sahal karena hormatnya kepada ayahanda.

Ahmad Nafi’ Abdillah tumbuh dalam lingkungan keluarga yang religius, disiplin, dan ketat, baik dalam lapangan ilmu, akhlak, dan perjuangan seperti gambaran di atas.

Lahir dari ayahanda KH. Abdullah Zein Salam dan Hj. Aisyah, Kiai Nafi’ Abdillah mendapatkan asupan gizi pengetahuan, spiritual, dan sosial yang sangat dalam.

Pengaruh pendidikan ayahnya sangat melekat dalam kepribadiannya.

Di samping itu, pengaruh guru-guru beliau di Perguruan Islam Mathali’ul Falah juga sangat besar membentuk karakter beliau yang kuat.

KH. Muhammadun Abdul Hadi dan KH. MA. Sahal Mahfudh adalah guru-guru istimewa beliau di Kajen yang menumbuhkan ghirah ilmiyyah dalam diri Kiai Nafi’ untuk mencintai ilmu, mengamalkan ilmu, dan menyebarluaskannya kepada masyarakat.

Guru berpengaruh lainnya adalah KH. Maimoen Zubair ketika Kiai Nafi’ meneruskan jenjang pendidikannya ke Pondok Pesantren Sarang.

Pondok Sarang secara umum adalah pondok yang orientasi tafaqquh fiddin-nya sangat kuat, khususnya dalam bidang fiqh.

Pondok Sarang dikenal sebagai pendekarnya Bahtsul Masail (forum diskusi keagamaan untuk membahas dan memutuskan status hukum masalah aktual yang terjadi dengan tendensi kitab kuning) dari dulu sampai sekarang.

Kedalaman aspek gramatikal bahasa (nahwu-sharaf) sangat diperhatikan di Pondok Sarang ini sebelum naik ke jenjang fiqh dan ushul fiqh serta balaghah.

Kiai Nafi’ tentu mengalami pergulatan keilmuan yang sangat intens selama di Sarang, bergumul dengan berbagai karya ulama yang dikenal dengan istilah kitab kuning, baik dalam bidang nahwu-sharaf, fiqh-ushul fiqh, balaghah, tafsir, hadis, akhlak, tasawuf, dan lain-lain.

Pergulatan intelektual intens dengan banyak muthala’ah ini menjadi sebuah keniscayaan, tidak hanya mengharap barakah tanpa belajar.

Ketika penulis kelas 1 Aliyah PIM, Kiai Nafi’ memberikan wejangan kepada siswa-siswa bahwa barakah sekarang tidak bisa didapatkan tanpa belajar yang tekun.

Jika ingin mendapatkan berkah para wali dan guru PIM, maka syaratnya adalah belajar tekun harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam bahasa al-Marhum al-Maghfurlah KH. Ali Fattah Ya’qub “waqaddimid dirayah ala ar-riwayah” dahulukan belajar dari riwayat harus selalu dijadikan prinsip utama siswa-siswa PIM untuk mendapatkan keberkahan ilmu.

Kiai Mu’adz Thohir sering menceritakan hikayat KH. Muhammadun Abdul Hadi yang belajar sampai lupa waktu ketika diajak munadharah kitab Jam’ul Jawami’ bersama gurunya KH. Mahfudh Salam setelah mengkhatamkan kitab Jam’ul Jawami’ bersama gurunya tersebut.

Thariqah Bersama Habib Luthfi

Pergulatan intelektual Kiai Nafi’ semakin lengkap ketika beliau mengikuti jalan thariqah dengan mursyid Habib Luthfi Pekalongan.

Ketika penulis wawancara beliau bersama Mas Ratna Andi Irawan dalam momentum satu abad PIM (2012), Kiai Nafi’ menceritakan pengalaman pendidikan thariqahnya dengan Habib Luthfi bin Yahya. 

Pada akhirnya beliau diangkat menjadi Mursyid Thariqah dengan tugas yang sangat berat dan agung, yaitu membai’at dan membimbing santri-santri untuk mengambah jalan (suluk) mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Dalam konteks bekerja, Kiai Nafi’ sering mengingatkan kepada orang-orang, khususnya ketika kami shilaturrahim saat lebaran (badan dalam istilah jawa) supaya tetap bertawakkal kepada Allah dan jangan menghitung keuntungan dan memastikannya.

Kiai Nafi’ menceritakan pengalaman pribadinya ketika beliau bisnis kapuk dengan kalkulasi keuntungan yang besar, misalnya membeli kapuk dengan harga sekian, kemudian dijual dengan harga sekian, maka keuntungan yang didapat sekian dalam jumlah besar. Apa yang terjadi ?

Setelah kapuk dibeli, ternyata harga jatuh, akhirnya tidak jadi untung. Hal ini untuk mengingatkan supaya dalam ber-ikhtiyar (bekerja) tidak melupakan aspek tawakkal dan i’timad

kepada Allah sebagai Sang Pemberi Rizki dan Pemberi Anugerah satu-satunya, bukan yang lain. Hal ini sebagaimana prinsip kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah, khususnya Imam Al-Asy’ari yang melahirkan konsep al-kasb (usaha) sebagai antitesa paham qadariyyah (free will) dan jabariyah (fatalistic).

Kasb ini menjadi kompetensi manusia yang bisa digunakan, tapi hasil akhirnya ada dalam genggaman Allah SWT.

Aktivis Organisasi NU

Ketika penulis masih di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Kajen Tengah, penulis sering dereake (menemani) Al-Marhum Al-Maghfurlah KH. Ahmad Fayumi Munji mengikuti forum bahtsul masail MWCNU Margoyoso yang saat itu moderatornya adalah al-Marhum al-Maghfurlah KH. Ma’mun Muzayyin.

Ketika bahtsul masail dalam rangka Haul Mbah Ronggokusumo, Kiai Nafi’ hadir dan membacakan ta’bir.

Kiai Nafi’ juga sering ke Pondok Raudlatul Ulum untuk mengikuti persiapan Bahtsul Masail di tingkat Wilayah bersama KH. Ahmad Fayumi Munji. Penulis sering menyaksikan hal ini.

Informasi lain yang penulis himpun dari Bapak Salamun, aktivis PCNU Pati, KH. Ahmad Nafi’ Abdillah pernah menjadi pengurus PCNU Pati dan saat itu beliau aktif ngantor (masuk kantor) untuk menjalankan amanah tersebut.

Sampai akhir hayatnya, KH. Ahmad Nafi’ Abdillah menjadi Mustasyar PCNU Pati sebagai sesepuh yang bertugas membimbing pengurus NU supaya berada di jalan yang benar.

Sebuah keteladan Sang Kiai kepada kader-kader muda supaya serius mengurus NU dalam rangka khidmah kepada ulama dan umat. NU tidak boleh dibuat mainan, apalagi batu loncatan untuk hal-hal yang sifatnya material dan kedudukan.

Direktur PIM

Sejak meninggalnya KH. MA. Sahal Mahfudh tahun 2014, KH. Ahmad Nafi’ Abdillah meneruskan estafet kepemimpinan PIM sebagai Direktur.

Pada masa kepemimpinan beliau, kedisiplinan guru dan murid terjadi peningkatan tajam.

Kaidah al-wajib la yutraku illa lil-wajib, kewajiban mengajar tidak boleh ditinggalkan kecuali dengan sesuatu yang wajib, dipraktekkan guru dan siswa dengan tertib.

Bimbingan spiritual kepada guru sebagai pengukir karakter anak ditingkatkan dengan pengajian Al-Hikam kepada para guru di gedung PIM.

Jika guru baik, maka insya Allah anak didik baik, karena kata guru bermakna filosofis, yaitu digugu ucapannya dan ditiru perilakunya.

Penulis: KH Jamal Ma'mur Asmani, alumnus PIM 1997 dan Wakil Ketua PCNU Pati.***

Editor: Amrullah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah