Ketika Habib Quraisy Baharun Sowan Kepada Habib Umar bin Hafidz

- 20 Agustus 2023, 14:06 WIB
Ketika Habib Quraisy Baharun Sowan Kepada Habib Umar bin Hafidz
Ketika Habib Quraisy Baharun Sowan Kepada Habib Umar bin Hafidz /

TOKOH - Ketika Habib Quraisy Baharun Sowan Kepada Habib Umar bin Hafidz.

Berikut ini ada kisah dan makna sowan atau berkunjung kepada guru yang disampaikan Habib Quraisy Baharun. 

Bukan sebatas bermakna bertemu, tapi ada ikatan ruhani yang luar biasa di dalamnya. 

Baca Juga: Karomah Habib Anis Solo Menembus Mata Hati Habib Umar bin Hafidz Yaman, Kisahnya Menggetarkan Dunia Islam

Berikut ini yang disampaikan Ketika Habib Quraisy Baharun Sowan Kepada Habib Umar bin Hafidz.

Sowan atau Mengunjungi Guru

(Sebelumnya kami ingin mendoakan para penuntut ilmu dan para orangtua dan seluruh muslim muslimah, semoga ilmu-ilmu yang dipelajari bermanfaat dunia akhirat dan anak-anaknya dijadikan anak yang sholeh sholehah).

Ketika mengunjungi guru mulia kami Alhabib Umar Bin Hafidz di Tarim Yaman, teringat sebuah nasehat hikmah yang sangat bermanfaat bagi penuntut ilmu : 

من لم يعرف الأصول حرم عن الوصول

Artinya: Siapa yang melupakan asalnya, maka sulit untuk mencapai kesuksesan.

Nasehat singkat itu bermakna bahwa seorang santri (murid), di mana pun dan kapan pun, jangan sampai melupakan guru yang dulu pernah mengajar dan membimbingnya.

Hubungan guru dan murid (kiai dan santri), tidak selesai begitu saja setelah proses belajar rampung. Tapi, sampai kapan pun, hubungan ruhani akan terus terkoneksi.

Kendati jarak memisah begitu jauh, jangan sampai guru yang dulu pernah mengajarnya, hanya karena alasan sudah selesai dari interaksi belajar, dilupakan begitu saja.

Dalam literatur pesantren, keberkahan menjadi taruhannya. Jika murid sudah tidak lagi ingat terhadap sang guru, keberkahan bisa berkurang, atau bahkan ‘tidak mberkahi’ (tidak berkah hidupnya).

Ibarat kacang yang lupa pada kulitnya. Padahal, kacang akan terbentuk menjadi kacang dalam sebuah kulit yang membungkusnya sampai menjadi betul-betul kacang yang bisa dinikmati banyak orang.

Tapi, kacangnya yang bisa dimakan, sementara kulit dibuang dan menjadi sampah. Begitu pun seorang murid.

Bisa memperoleh ilmu dan suatu pencapaian hidup, tidak lepas dari peran seorang guru yang dulu membekalinya ilmu dan doa setiap saat.

Dalam tradisi pesantren, salah satu upaya untuk menjaga dan memperkuat hubungan kiai dan santri adalah dengan sowan.

Sowan merupakan tradisi bersilaturahim kepada kiai. Meski seorang santri sudah tidak lagi di pesantren, ia akan tetap menjaga dan memperkuat hubungan dengan kiainya dengan tradisi sowan tersebut.

Mengenai hubungan guru dengan seorang murid, Imam Al-Ghazali menjelaskan:

يَحْتَاجُ المُرِيدُ إِلَى شَيْخٍ وَأُسْتَاذٍ يَقْتَدِي بِهِ لَا مَحَالَةَ لِيَهْدِيهِ إِلَى سَوَاءِ السَّبِيلِ، فَإِنَّ سَبِيلَ الدِّينِ غَامِضٌ، وَسُبُلَ الشَّيْطَانِ كَثِيرَةٌ ظَاهِرَةٌ. فَمَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ يَهْدِيهِ، قَادَهُ الشَّيْطَانُ إِلَى 

طُرُقِهِ لَا مَحَالَةَ. فَمَنْ سَلَكَ سُبُلَ البَوَادِي المُهْلِكَةِ بِغَيْرِ خَفِيرٍ فَقَدْ خَاطَرَ بِنَفْسِهِ وَأَهْلَكَهَا، وَيَكُونُ المُسْتَقِلُّ بِنَفْسِهِ كَالشَّجَرَةِ التي تَنْبُتُ بِنَفْسِهَا فَإِنَّهَا تَجِفُّ عَلَى القُرْبِ، وَإِنْ بَقِيَتْ مُدَّةً وَأَوْرَقَتْ لَمْ تُثْمِرْ، فَمُعْتَصَمُ المُرِيدِ شَيْخُهُ، فَلْيَتَمَسَّكْ بِهِ

Artinya: Seorang murid harus memiliki sosok syaikh dan guru yang diikuti dan menuntunnya ke jalan yang banar. Jalan agama begitu terjal, sementara begitu banyak jalan-jalan setan. Barangsiapa yang tidak memiliki guru, maka setan akan menyesatkan jalannya.

Seperti orang yang melewati sebuah pedalaman berbahaya tanpa pemandu, maka akan sangat mengancam keselamatannya. Orang yang tanpa guru, laksana pohon yang tumbuh tanpa diurus.

Dalam waktu dekat akan mati. Andai pun pohon itu hidup dalam waktu yang lama, tak akan berbuah. Penjaga murid adalah gurunya. Berpeganglah padanya. (lihat Ihya 'Ulumiddin, juz 1, halaman 98)

Dari pesan Al-Ghazali di atas, setidaknya kita bisa mengambil dua poin penting terkait hubungan seorang guru dan murid.

Pertama, guru adalah petunjuk jalan bagi murid. Ibarat orang yang sedang menjelajahi hutan rimba yang baru saja dijejakinya. Tanpa petunjuk, sangat mungkin tersesat. Bahkan, nyawa bisa menjadi taruhannya.

Syekh Ahmad Ali al-Rifa'i (w. 1182 M), salah seorang ulama Syafi'iyyah pembentuk tarekat Ar-Rifa'iyyah, berpesan: 

مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ فَشَيْخُهُ الشَّيْطَانُ

Artinya: Barangsiapa yang tidak mempunyai guru, maka gurunya adalah setan. (lihat Al-Kasyfu 'an Haqiqah as-Shufiyyah, halaman 321)

Kedua, guru merupakan orang yang merawat si murid. Tanpa perawatan guru melalui ilmu yang diajarkan serta upaya-upaya zahir dan batin yang diberikannya, tidak mungkin seorang murid mampu meraih apa yang hendak dicapainya.

Al-Ghazali menganalogikannya bagaikan pohon yang tumbuh tanpa perawatan. Pasti akan mati kekeringan.

Jika pun hidup, mustahil berbuah. Poin yang kedua ini senada dengan pesan Syekh Abu 'Ali ad-Daqqaq (w. 412 H), salah seorang ulama sufi.

Beliau mengatakan: Pohon yang tumbuh secara liar (tumbuh sendiri dan tidak ada yang merawatnya), jika pun hidup, tidak akan berbuah.

Andaikan berbuah, sebagaimana pohon yang tumbuh di pedalaman dan gunung, rasanya tidak seperti buah di kebun. (lihat Al-Mausu'ah al-Muyassarah, halaman 1772).

Syekh Az-Zarnuji dalam kitab Ta'lim al-Muta'allim mengisahkan tentang putra seorang Harun al-Rasyid (khalifah kelima dari kekhalifahan Abbasiyyah yang memerintah antara tahun 786 hingga 803).

Suatu ketika, Harun al-Rasyid menyuruh putranya untuk berguru kepada Imam Al-Ashmu'i (w. 831 M). Pada satu kesempatan, sang khalifah melihat putranya sedang membantu mengucurkan air dari wadah untuk wudlu gurunya.

Melihat kejadian itu, sang khalifah menegur Imam Al-Ashmu'i: Saya meminta anda untuk mendidik putra saya, mengapa engkau tidak menyuruhnya untuk mengucurkan dengan tangannya saja (bukan melalui wadah)?

Bayangkan. Seorang Harun al-Rasyid saja, tetap menyuruh putranya untuk menghormati sang guru dengan maksimal.

Bahkan, tidak cukup dengan membantu mengucurkan air untuk wudhu gurunya dengan wadah. Tapi harus dengan tangan putranya langsung.

Demikianlah, betapa penting kedudukan guru bagi seorang murid. Guru adalah orang yang berilmu. Menghormati guru, berarti menghormati ilmu itu sendiri.

Salah satu bentuk penghormatan kepada guru adalah dengan tetap memuliakannya. Kapan pun dan di mana pun.

Demikian keterangan dari Habib Quraisy Baharun yang dikutip dari catatan di facebook pribadinya yang diunggah pada 15 Februari 2023.***

Editor: Muhammadun


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah