/kugali hatiku dengan linggis alifmu/ ia akan memasuki hatinya dengan zikir-zikir. Tak peduli seberapa keras hatinya, ia kan tetap memasukinya dengan zikir, karena kemauannya itu begitu kuat. Mulai dari tahapan-tahapan, dari “mata air’, “sumur”, hingga “samudera dengan sejuta gelombang”.
Sedikit demi sedikit dari sesuatu yang kecil hingga mendatangkan sesuatu yang amat besar hingga ia benar-benar menjadikan zikir itu sebagai keluhan, menjadikan Allah sebagai satu-satunya Tuhan.
Kebanyakan puisi “Zikir” ini menggunakan majas metapora. /alifmu pedang di tanganku, susuk di dagingku, kompas di hatiku/ termasuk metapora karena adanya bagian yang memperlihatkan persamaan antara topik dan citra.
Di mana “alifmu” sebagai topik dan “pedang”, “susuk” dan “ kompas” sebagai citra atau gambaran. /alifmu/ dan masing-masing kata tersebut memilki persamaan makna yaitu, zikir sebagai “pelindung”, “pasak” dan “petunjuk”.
Baca Juga: Kata Bijak Buya Hamka tentang Pemuda
Kata /alif/ di sini termasuk metonimi karena diartikan sebagai perwujudan garis lurus antara seorang hamba dengan Khaliqnya, atau huruf /alif/ ini sebagai penanda bahwa bila beribadah itu harus tetap pada yang satu yaitu Allah Swt, tidak boleh bercabang-cabang.
Citraan pendengaran terdapat dalam larik /mengerang menyebut alifmu/ dan citraan penglihatan terdapat dalam larik /kugali hatiku dengan linggis alifmu, hingga lahir mata air, jadi sumur, jadi sungai, jadi laut, jadi samudra dengan sejuta gelombang/.
Makna secara keseluruhan dari puisi ini adalah bagaimana kita menjadikan Allah itu sebagai tuhan satu-satunya dengan terus berzikir sebanyak-banyaknya, memasrahkan semuanya kepada-Nya.***