Aku Mahasantri, Cerpen Menginspirasi yang Dapat Menggugah Jiwa Juang Mahasiswa Tetapi Santri

- 11 Desember 2022, 20:40 WIB
Nailul Ma’rifah, Mahasiswa Prodi PGMI Raih Predikat Lulusan Terbaik dan Tercepat STAI Sunan Pandanaran 2022
Nailul Ma’rifah, Mahasiswa Prodi PGMI Raih Predikat Lulusan Terbaik dan Tercepat STAI Sunan Pandanaran 2022 /amru/

Pernah saya menulis sebuah cerita pendek (cerpen) yang terinspirasi pada kehebatan seorang mahasantri, mahasiswa sekaligus santri.

Tak mudah bukan jika keduanya dilakukan secara bersamaan. Bagaimana lelahnya dan bagaimana menyeimbangkannya?

Saya berharap cerpen berjudul “Aku Mahasantri” ini bisa memotivasi para pejuang mahasantri di luar sana. Cerpen ini merupakan salah satu fakta kehidupan seorang santri yang mengemban kuliah di kampus yayasan PP. Sunan Pandanaran, Yogyakarta. Simak selengkapnya, ya!

Baca Juga: Tiap Minggu Sekali, Mbah Liem Klaten Ngaji Kepada Waliyullah Mbah Muhammadun Pondowan Naik Sepeda Onthel

Aku Mahasantri, Sebuah Cerpen

Setelah Aku menempuh masa hidupku di MA Al-Jauhar yang beriringan menjadi santri mandiri di Pondok Pesantren Al-Jauhar, Tlepok, Semin, Semin, Gunungkidul, Yogyakarta dengan membawa kesan yang sangat bervariasi.

Heran dan takjub. Kini sekarang harus lanjut kembali berjuang dan menikmati hidup dualisme. Santri sekaligus mahasiswa.

Tak terbayang bisa melakukannya. Aku harus bisa merajut sifat futurisme, demi orang yang tersayang bahkan negaraku sendiri.

Terkadang harapan bangsa terpatok pada seorang mahasiswa. Dan ulama pun berharap pada santri. Sungguh, tak bisa kubayangkan.

Ketika itu, Aku menginjakkan kaki dan berdiri di sekeliling gedung yang tertulis nama Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran, Yogyakarta.

Kampus dari Yayasan Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, Yogyakarta, dimana tempatku merantau. Umumnya, biasa disebut staispa. Ya, kampus mungil amat bermakna. Kulanjut sejarah hidup di depan mata dengan jiwa raga semata. Hati pikiran pun berbicara.

Nikmati dan syukurilah, Tuhan telah menyediakan hadiah terindah padamu. Sekejap mataku berkedip dan ragaku terangkat kaget.

Menyadarkanku akan suatu hal. Indah, disampingku menepuk pundakku sembari bertanya, “Hei, kenapa kamu...dari tadi ngelamun, awas kesambet nanti?”.

Baca Juga: Terima Kasih Guru, Puisi Chairil Anwar Tentang Keteladanan Seorang Guru

“Eh, enggak...nggakpapa kok”, jawabku gugup sembari membenahi ekspresi baik-baik saja. Entah kenapa Aku tadi seakan ada yang membisikiku.

“Ayok cepat masuk, telat kita”, ajaknya sembari berlari menuju ruang 5 untuk mengikuti mata kuliah Akhlak dan Tasawuf yang dibimbing oleh dosen prodi kita, Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Bapak Muhammadun, M.SI.

Dari sinilah Aku mendapatkan jawaban dari bisikan hati tadi, ternyata Tuhan memberiku petunjuk bahwa hidup perlu perjuangan dan keikhlasan hati yang menjadi satu niat yang menguatkan setiap lika-likunya.

Dan rencana-Nya lebih indah dari yang kita angankan.

***

Api berkobar di dalam dada. Gestur membahana tlah siap siaga. Dorongan hati berbisik pun menjaga. Terpaksa, dipaksa, terbiasa sebagai kuncinya.

Ku arungi masa hidupku seiring dibelakang mengikuti alurnya dan tak payah mengejar angan belaka. Berani mencoba dan berusaha serta meraih ridho-Nya itulah jalannya.

Baca Juga: Mengenal Apa Itu Tari Lulo yang Berasal dari Kendari Sulawesi Tenggara

Hari kedua di ruang 4 jam pertama di mulai, dihiasi suara bising semangat membara varian ekspresi dipandang ceria. Oh, terasa lega melihatnya. Saling belajar, menyapa dan bercanda.

Setelah beberapa menit, Pak H. Jazilus Sakhok, Ph.D; dosen tercinta kita memulai materi kuliah pagi ini.

Beliau menjelaskan dengan begitu jelas dan masuk akal atau out of the box. Ku meresapi dengan begitu semangat awalnya, namun akhirnya terasa pusing.

“Indah, ternyata kuliah itu nggak semudah yang diucapkan ya...?” sambatku dengan suara lemas tak berkelas kepada Indah yang sedang duduk di teras luar ruangan sambil main hpnya.

“Sttttt...” telunjuknya Indah sontak membungkam mulutku.

“Mengeluh boleh tapi ingat masih ada jalan yang harus kau tempuh.” Lanjutnya dengan begitu meyakinkan bahwa Aku bisa. Menyentuh sampai ke hati yang melembutkan kerasnya kepala.

Mataku berkaca-kaca mendengarnya langsung kupeluk Indah dengan begitu erat. Tak peduli dipandang anak kecil oleh teman-teman yang lain.

“Sudah...nggak usah nangis.” Sembari mengelus-elus pundakku saat dipeluk.

Baca Juga: Kawanku dan Aku, Puisi Chairil Anwar tentang Persahabatan

Tiba-tiba dari belakang seseorang mendekatiku, Hidrian, namanya. Dia termasuk teman sekelas yang aktif dan sangat pandai dalam berargumen, bahkan gagasannya sendiri sering dipaparkan dalam suatu karya ilmiah, seperti esai, artikel, dan seterusnya.

Aku pun kagum, sudah rajin, pandai, religius, ramah, kalem dan tak pernah merasa yang paling benar. Selalu menunduk ibarat padi, kian berisi kian merunduk.

“Kenapa e kok nangis...?” Dia bertanya seakan memperhatikanku dari tadi.

“Hemm...enggak nggakpapa kok?” Jawabku sambil mengusap air mata yang bercucuran di pipi. “Sudah nggak usah dipikirin, jalani aja dulu.

Wajar kok kamu mengeluh, menjadi santri sekaligus mahasiswa itu memang nggak mudah. Ingin dapat hasil luarbiasa, ya perlu proses yang luarbiasa juga. Semangat ya meraih mimpi mu, aku yakin kamu pasti bisa.” Ujarnya dengan senyuman menawan penuh perhatian.

“Udah ya...aku tak kesana dulu.” Akhir kata dan beranjak pergi menghampiri temannya.

“Terimakasih ya...” Lanjutku sambil tersenyum. Pun Hidrian menggangguk dan tersenyum.

Alhamdulillah, Aku sangat bersyukur sekali memiliki teman-teman yang begitu perhatian. Gumamku.

***

Baca Juga: Jangan Terlalu Ingin Dipandang Kaya, Tahu Sendiri Akibatnya, Review Film Pendek 'Wang Sinawang'

Tugas kuliah pun telah menumpuk dan rasanya masih berat dalam mengerjakannya, setiap malam Ku harus begadang setiap hari hingga berkurang waktu istirahatku.

Sempat berpikir dalam benak mengatakan, “Jika begini terus Aku pasti tambah kurus kering dan tak sehat bahkan mata bersayup seperti panda. Ya Allah...(sembari Ku menengadahkan tangan, mata hati berkaca-kaca).”

“Kenapa lagi kamu?... udah nggak usah di sesali, namanya anak kuliah plus nyantri ya seperti ini, harus bisa diseimbangkan antara tugas pondok dengan tugas kuliah, kadang emang salah satu bisa kalah kalo belum bisa me-manage.

Lagian kamu itu orangnya rajin kok, Aku yakin kamu bisa mengikuti alurnya walau seberat apapun itu. Bersusah-susah dulu bersenang-senang kemudian kan...”

Sentuhan nasihat Indah setiap kali Aku kelihatan sedih langsung peka. Dan Aku pun hanya bisa menggangguk-angguk menatapnya.

Baca Juga: Coba Tebak Kota Apa Yang Disebut Kota Hujan! Benar, Keunikan Dari Kota Bogor

“Ya udah yok semangat...” Kembali bergeraklah diriku.

“Nah, gitu dong...” Ujar Indah merasa puas melihat Aku kembali semangat.

“Tadi sampai mana ya?” Lanjutku sambil menunjukkan hasil kerjanya yang ada di laptop.

“Sampai di hatimu hhhhhhh....” Jawab Indah dengan candaannya sembari ketawa ringan.

“Hhhhh... malah bercanda lho”

“Hhhhhh...terlalu serius sih. Ini lho makalah kita udah hampir selesai, tinggal kurang kesimpulan aja sama daftar pustaka.”

“Lah...dari tadi yang kerja kamu terus dong, maap ya Aku malah meratapi nasib” Ujarku dengan merasa bersalah karena Aku tak fokus mengerjakan dan malah ngelamun.

“Nggak papa...besok gantian hhhh...” ucapnya sambil bercanda lagi.

“Iya deh iya...” jawabku dengan meng-iyakan begitu saja.

Baca Juga: Analisis Pesan Moral dari Film Pendek yang Berjudul 'UNBAEDAH'

Begitulah keseharian kami di mushola samping kamar asrama tempat kami belajar, begadang, beribadah, mengaji.

Setiap habis mengaji dan Sholat Isya langsung stand by di mushola hingga terkadang ketiduran sampai pagi. Dingin, penat, sunyi selalu kami rasakan demi menjemput masa depan.

***

Adzan Subuh telah berkumandang dan kuterbangun dari tidurnya. Siap-siap berjamaah dan lanjut mengaji di mushola. Tak terasa hari-hariku kulalui hingga sekarang Aku semester 7, menempuh masa-masa skripsi.

Untuk mengakhiri keluh-kesah, susah-senang, suka-duka berharap keberkahan perjuangan ini tercipta dari ridho-Nya.

Teringat waktu itu ada satu tragedi yang mengesankan. Ketika itu, ada temanku seasrama bukan Indah membajak HP-ku dengan niat hanya bercanda tetapi menjadi keseriusan yang bikin Aku stres seketika.

Hingga membuat tugas kuliah dan presentasiku menjadi sedikit berantakan karena kesalahpahaman yang amat lucu.

Temanku mengirim satu pesan whatsapp dengan fitur voicenote kepada salah satu teman sekelas yang bernama Aldian.

Yang berbunyi, “Halo Aldian, I Love You.” Suara lirihnya hingga menyerupai suaraku dan Aku langsung sontak emosi terhadap kelakuannya dan kurebut HP-ku ketika itu.

Masalahnya, Aldian telah mendengarkan voicenote tersebut dengan tanggapan tanpa balas dan langsung diblokir nomorku.

Ku terkejut dan khawatir akan suatu hal tak diinginkan terjadi. Apalagi Aldian itu orangnya gampang baperan dan orang asal Jawa Timur yang terkenal lebih keras dibandingkan orang Jawa Tengah yang terkenal lebih lembut.

Baca Juga: Makna Atau Arti Tumpat Atau Menumpat Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

Ketika itu, selain merasa khawatir Aku juga merasa sedikit kehilangan harga diriku sebagai perempuan.

Kadang aku sedikit merasa kesal terhadap temanku itu, tetapi Aku ingat pesan orangtua, dosen, bapak kyai bahwa memaafkan seseorang yang berbuat salah kepada kita itu lebih baik daripada memusuhinya.

Dari sinilah Aku sadar betapa pentingnya mengikat dan menyambung kembali tali silaturahim baik sesama muslim maupun non-muslim.

Dan pada akhirnya setelah kejadian itu, paginya, kami pun bertemu di kampus dengan rasa canggung, tatapan Aldian yang begitu menakutkan, dan diriku pun menjadi stres.

“Haduhh nambah beban pikiran aja”, gumamku.

Semenjak itu, susah banget Aldian diajak ngomong, temenku sendiri yang berbuat pun tak suruh membantuku membujuknya. Tetapi hasilnya sama saja. Aku hanya bisa bersabar dan tetap berusaha bagimanapun caranya harus tetap bisa menyambung tali persaudaraan kembali.

Setelah beberapa hari, teman sekelas sengaja berkumpul dibawah tangga depan perpustakaan kampus untuk membahas suatu hal.

Nah, pikirku moment inilah yang tepat untuk menggungkapkan segala kebenarannya. Dan akhirnya, ku mencoba menyuruh temanku tadi untuk mengungkapkannya dan meminta maaf. Alhamdulillah, berakhirlah sudah tragedi ini. The end.***

Cerpen karya Siti Fatimah Zahro, Mahasiswa Program Studi (Prodi) Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sunan Pandanaran, Yogyakarta.

 

Editor: Ahmad Syaefudin


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x