Ciri Khusus Tulisan dan Gagasan Gus Dur yang Unik dan Mengesankan

- 12 Desember 2022, 18:32 WIB
Ciri Khusus Tulisan dan Gagasan Gus Dur yang Unik dan Mengesankan
Ciri Khusus Tulisan dan Gagasan Gus Dur yang Unik dan Mengesankan /facebook/adib/

TOKOH - Ciri Khusus Tulisan dan Gagasan Gus Dur yang Unik dan Mengesankan.

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) punya ciri khusus dan cara khusus dalam menulis dan menuangkan gagasannya yang unik dan menyegarkan. 

Tulisan Gus Dur punya ciri yang membedakan dengan tulisan tokoh lain, lebih mengalir dan menyapa pembaca. 

Baca Juga: Mbah Mutamakkin Kajen dan Gus Dur: Rahasia Langit dalam Ajaran Joko Tingkir

Gagasan Gus Dur memang kritis dan tajam, tapi penyajiannya dihadirkan dengan kekayaan tradisi yang dimiliki yang dahsyat. 

Gus Dur bahkan sampai punya meja kantor sendiri untuk menulis di suatu media nasional saat itu, sehingga ia selalu datang berkantor untuk menulis. 

Esais budaya kenamaan pada jamannya, Syu'bah Asa memberikan catatan khusus terkait gaya menulis Gus Dur yang punya ciri khusus. 

Sebagaimana dikutip dari tulisan Syu'bah Asa atas pengantar buku bertajuk 'Melawan Melalui Lelucon: Kumpulan Kolom Abdurrahman Wahid di TEMPO', dijelaskan kisah yang menjadi ciri khusus tulisan dan gagasan Gus Dur.

Syu'bah Asa mengawali ciri sosok Gus Dur dengan kisah bahwa suatu kali Gus Dur marah-marah kepada seorang tokoh Islam. Masalahnya, seorang wartawan TEMPO mengadu kepadanya.

Baca Juga: Bangkrut dan Punya Hutang Rp5 Miliar, Bertemu Guru Sekumpul dalam Mimpi dan Diberi Catatan Rahasia Begini

Ia dimarahi tokoh itu, karena datang ke rumahnya dengan cara melompat pagar pekarangan yang terkunci setelah tidak mendapat cara lain untuk masuk. Ini terjadi pada akhir 1970-an, zaman ketika telepon belum populer, sedangkan si wartawan memang punya janji dengan si tokoh.

Mendengar pengaduan itu malah Gus Dur yang tersinggung dan membela si wartawan. “Sok  nkenes! Keba­rat-baratan!” katanya, ditujukan kepada tokoh yang tidak mendengar kemarah­annya itu.

Menurut Syu'bah Asa, kemarahan Gus Dur dikarenakan ia tidak terlalu menganggap serius perbuatan lompat pagar yang dilakukan dengan terpaksa itu, dibanding keperluan yang mendorongnya.

Menurut Gus Dur, itu paling-paling, kan, kenakalan anak muda. Begitu saja kok marah. Repot-repot amat. Ini semua menurut cerita si wartawan.

Tetapi, itulah Gus Dur yang dikenal para wartawan: bersahabat, tidak formal, punya empati besar, cepat bereaksi, di samping luas perhatian dan banyak guyon.

Gaya Gus Dur yang demikian itu, salah satunya, yang menjadikan tulisan dan gagasan Gus Dur unik dan orisinil, beda dengan yang lain. 

Baca Juga: Lempar Humor Saja Gus Dur Buktikan Karomah dan Kewaliannya, Kamu Bisa Tertawa Sekaligus Hati Tergugah

Dalam kisah Syu'bah Asa, di masa-masa itu, ketika TEMPO masih berkantor di Proyek Senen, Jakarta Pusat, sekitar akhir 1970-an sampai 1980-an, Gus Dur kerap datang untuk menulis kolomnya. Produktif sekali.

Kalau tidak salah, kata Syubah Asa, yang satu belum dimuat, sudah datang yang lain.

"Andaipun terpaksa ada kolom yang harus kembali, saya kira dia juga tidak peduli. Repot-repot amat. Tapi, saya lupa menge­nai itu. Yang jelas, produktivitas Gus Dur membuat Goenawan Mohamad, Pe­mimpin Redaksi ketika itu, menyarankan kepada saya agar mengurus satu meja khusus plus mesin ketik untuk dia," kisahnya.

Bagaimana ciri sosok Gus Dur yang juga memberikan pengaruh penting dalam ciri khusus tulisan dan gagasannya? Apa yang sampaikan Syu'bah Asa bisa dikategorisasikan berikut ini.

Pertama, Gus Dur orangnya segar. Datang dengan gaya seperti selalu siap untuk ngobrol, pakai sandal, tidak pernah sepatu, pakai hem lengan pendek, tidak pernah pakai peci, apalagi dasi.

Baca Juga: Bukti Karomah dan Kesaktian Gus Dur, bagi yang Merasakan Langsung Terkagum-kagum

Kedua, Gus Dur selalu punya lelucon yang membuat orang tergelak-gelak. Setelah ger-geran sedikit, baru ia menuju mejanya dan mulai mengetik.

Sekitar dua jam kemudian Gus Dur mendatangi Goenawan, atau Syu'bah Asa, menyerahkan tulisannya.

“Ini. Terserah Mas Syu’bah.” Atau, “Terserah Mas Goen.”

Bagi Gus Dur, katanya, sudah itu tidak peduli mau diapakan kolomnya: diedit, dibolak-balik, dikurangi, terserah. Repot-repot amat. Asal masih tetap pikiran dia, tentu saja.

"Biasanya Goenawan menaruh lagi kolom yang diberikan Gus Dur itu di meja saya. Tapi, kalau sudah dia sentuh sedikit-sedikit, ya, saya teruskan saja ke pracetak," katanya.

Ketiga, hampir tiap minggu Gus Dur menulis. Ini, kemudian, diakuinya sendiri di satu wawancara televisi, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sekeluarga.

Keempat, ada saja idenya Gus Dur. Juga ide yang bagi orang lain sering dianggap sepele, akan ia ke­mukakan dalam kalimat-kalimat serius, sehingga membuatnya penting.

Baca Juga: 16 Kata Mutiara KH Maimoen Zubair yang Menggetarkan Hati, Menandai Hidup Berkah dan Bahagia

Kolom­nya tentang lelucon, misalnya, tentunya bisa dimasukkan ke situ. Karena pulang-pergi naik kendaraan umum, ia juga dapat ide tentang bus kota nomor sekian yang tiap hari Minggu mengubah trayek menjadi Kebayoran-Kwitang.

Sopir bus itu tahu kebutuhan umat Habib Al-Habsyi yang tiap Ahad pagi berbondong-bondong ke pengajian. Lalu Gus Dur, dengan beberapa contoh lain, bicara dengan segar tentang “komersialisasi keberagamaan” dengan kedua pihak sama-sama setuju.

Kelima, ungkapan-ungkapan Gus Dur memang rata-rata menyegarkan. Judul seperti Menunggu Setan Lewat, misalnya, adalah asli dari dia dan bukan dari penyunting.

Keenam, berpikirnya ringan tetapi amot, perbendaharaannya banyak, dan pengungkap­annya prosais.

Hanya saja, karena rata-rata dikerjakan dengan cepat, tanpa selalu sempat memilih ungkapan yang efektif, terkadang karangan agak boros kata, dan itu mengaburkan barik (tekstur).

Sebaliknya, karena ide, atau unit pikiran kecil-kecil, sering banyak sekali, ia juga bisa agak melompat, mengira orang sudah paham, padahal diperlukan jem­batan — yang sering hanya dua-tiga kata.

Betapapun, tulisan Gus Dur tidak termasuk yang ditangani, misalnya sampai ke tingkat “dikerjain”.

Sekadar men­jaga bagaimana agar ketajaman pikiran dan analisisnya tidak dikaburkan oleh semak belukar kata. Kalau ternyata malah sudah beres dengan sendirinya, sudah.

Baca Juga: Pentingnya Membaca Menurut KH Maimoen Zubair, Kunci Bangun Peradaban Kata Kiai Jamal

Ketujuh, Gus Dur adalah penulis produktif dengan spektrum pemikiran yang luas. Memang, lebih luas dari siapa pun. Kalau dibandingkan dengan Nurcholish Madjid atau Amien Rais, spektrum perhatian Gus Dur masih lebih luas.

Karena spektrum luas, tulisan-tulisan Gus Dur melingkupi masalah-masalah sosial, politik, agama, bu­ruh, tani, dakwah, musik, sampai sepak bola—nasional maupun internasional.

Dan itu sesuai dengan keluasan ruang geraknya dan banyaknya komunitas yang dia masuki.

Kedelapan, Gus Dur adalah seorang santri dari kalangan pesantren yang, sebagai orang intelek ilmu agama, punya lingkungan keilmuan Islam. Lalu, lingkungan ilmu­wan sosial dia masuki. Ikut seminar-seminar.

Kesembilan, Gus Dur punya perangkat leori sosial, belajar ilmu sosial. Juga lingkungan pergerakan keagamaan dengan aktif di NU.

Jadi orang LSM. Orang gerakan demokrasi dan hak asasi. Masuk ling­kungan antaragama. Sampai ke tingkat antarnegara. Tapi juga, sebelumnya, orang Taman Ismail Marzuki.

Kesepuluh, Gus Dur memang bukan seniman, tapi kecenderungan humanioranya besar sekali.

Kesebelas, bacaan novelnya, atau majalah budaya, paling tidak terbitan Timur Tengah atau terjemahan sana, dulu, waktu sekolah di Mesir, tidak bisa disamai intelektual mana pun yang bukan budayawan.

Baca Juga: Cerpen Telapak Tangan Hadratus Syaikh Karya Muyassarotul Hafidzoh

Karena wawasannya pula ia dipilih menjadi salah satu ketua Dewan Kesenian Jakarta.

"Tentu, jabatannya di NU memperkuat kans­nya sebagai ketua di DKJ. karena kita kan senang kalau, ternyata, masyarakat ini bisa dibikin tidak terkotak-kotak," kata Syu'bah Asa.***

Editor: Muhammadun


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah