Fakta Malam Satu Suro, Lebih Keramat Saat Terjadi Pada Jumat Legi, Ini yang Dilakukan Kraton Yogya dan Solo

22 Juli 2022, 16:00 WIB
Fakta Malam Satu Suro, Lebih Keramat Saat Terjadi Pada Jumat Legi, Ini yang Dilakukan Kraton Yogya dan Solo /Tangkapan layar Instagram @bethcute1990

BERITA BANTUL - Fakta Malam Satu Suro, lebih keramat saat terjadi pada jumat legi, ini yang dilakukan kraton Yogya dan Solo.

Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Sura atau Suro. Sebagaimana dikutip Beritabantul.com dari petabudaya.belajar.kemdikbud.go.id.

Dalam penanggalan Jawa, dihitung berdasarkan penggabungan kalender lunar (Islam), kalender matahari (masehi) dan Hindu.

Baca Juga: Alasan Mengapa Orang Jawa Mengaggap Malam Satu Suro Itu Angker dan Mistis, Ini Jawabannya

Berdasarkan atas pertimbangan pragmatis, politik dan sosial, penanggalan Jawa memiliki dua sistem perhitungan yaitu mingguan (7 harian) dan pasaran (5 harian).

Penanggalan jawa memiliki siklus windu (sewindu:8 tahun), dimana konsekuensi dari siklus ini adalah pada urutan tahun jawa ke 8 (jimawal) jatuhnya tanggal 1 Suro berselisih satu hari lebih lambat dengan 1 Muharram dalam kalender Islam.

Satu suro biasanya diperingati pada malam hari setelah magrib pada hari sebelum tanggal satu biasanya disebut Malam Satu Suro, hal ini karena pergantian hari Jawa dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam.

Satu Suro memiliki banyak pandangan dalam masyarakat Jawa, hari ini dianggap keramat terlebih bila jatuh pada Jumat Legi.

Untuk sebagian masyarakat pada malam satu suro dilarang untuk ke mana-mana kecuali untuk berdoa ataupun melakukan ibadah lain.

Baca Juga: Inilah 2 Weton yang Akan Mendapatkan Kemuliaan Hidup Setelah Malam 1 Suro, Apakah Kamu Termasuk?

Malam Satu Suro yang sangat lekat dengan budaya Jawa, biasanya terdapat ritual tradisi iring-iringan rombongan masyarakat atau kirab.

Beberapa daerah di Jawa merupakan tempat berlangsungnya perayaan Malam Satu Suro. Di Solo, misalnya perayaan malam satu Suro terdapat hewan khas yang disebut kebo (kerbau) bule.

Kebo bule menjadi salah satu daya tarik bagi warga yang menyaksikan perayaan Malam Satu Suro dan konon dianggap keramat oleh masyarakat setempat.

Kebo Bule Kyai Slamet. Bukan sembarang kerbau, karena hewan ini termasuk pusaka penting milik keraton.

Dalam buku Babad Solo karya Raden Mas (RM) Said, leluhur kebo bule adalah hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II, sejak istananya masih di Kartasura, sekitar 10 kilometer arah barat keraton yang sekarang.

Baca Juga: Hubungan Intim atau Jimak di Malam 1 Suro, Dianjurkan atau Dilarang?

Menurut seorang pujangga kenamaan Keraton Kasunanan Surakarta, Yosodipuro, leluhur kerbau dengan warna kulit yang khas, yaitu bule (putih agak kemerah-merahan) itu, merupakan hadiah dari Kyai Hasan Beshari Tegalsari Ponorogo kepada Paku Buwono II, yang diperuntukkan sebagai cucuk lampah (pengawal) dari sebuah pusaka keraton yang bernama Kyai Slamet saat beliau pulang dari mengungsi di Pondok Tegalsari ketika terjadi pemberontakan pecinan yang membakar Istana Kartasura.

Berbeda dengan perayaan di Solo, di Yogyakarta perayaan Malam Satu Suro biasanya selalu identik dengan membawa keris dan benda pusaka sebagai bagian dari iring-iringan kirab.

Para abdi dalem keraton, beberapa hasil kekayaan alam berupa gunungan tumpeng serta benda pusaka menjadi sajian khas dalam iring-iringan kirab yang biasa dilakukan dalam tradisi Malam Satu Suro.

Perayaan tradisi peringatan Malam Satu Suro menitikberatkan pada ketentraman batin dan keselamatan. Karenanya, pada malam satu Suro biasanya selalu diselingi dengan ritual pembacaan doa dari semua umat yang hadir merayakannya.

Baca Juga: Kenapa Dinamakan Hari Asyura? Para Ulama Berbeda Pendapat, Ini Penjelasan Syekh Abdul Qadir Al Jailani

Hal ini bertujuan untuk mendapatkan berkah dan menangkal datangnya marabahaya.
Selain itu, masyarakat Jawa pada umumnya selalu berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan melakukan hal kebaikan sepanjang bulan satu Suro.

Tradisi saat malam satu suro bermacam-macam tergantung dari daerah mana memandang hal ini, sebagai contoh Tapa Bisu, atau mengunci mulut yaitu tidak mengeluarkan kata-kata selama ritual ini.

Yang dapat dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri, berkaca pada diri atas apa yang dilakoninya selama setahun penuh, menghadapi tahun baru di esok paginya. ***

Editor: Ahmad Lailatus Sibyan

Tags

Terkini

Terpopuler