Imam Malik bin Anas dan Pemikirannya tentang Tradisi Lokal yang Menjadi Dasar Pijakan Mazhab Fikihnya

25 Agustus 2022, 17:30 WIB
/Net

BERITA BANTUL - Imam Malik bin Anas dan pemikirannya tentang tradisi lokal yang menjadi dasar pijakan mazhab fikihnya.

Imam Malik bin Anas (w. 179 H/796 M) adalah salah seorang pendiri aliran (mazhab) hukum Islam. Dia juga guru Imam Al Syafi’i.

Mazhab Maliki sangat populer di sejumlah negara, antara lain Maroko, Tunisia, Spanyol, dan lain-lain. 

Maroko sampai hari ini menganut mazhab ini. Ciri utama mazhab ini yang membedakannya dari mazhab lain adalah penghargaannya pada tradisi lokal.

Baca Juga: Umat Islam Sering Berkonflik dan Bertengkar, Begini Sebabnya Menurut Abdullah bin Abbas

Bahkan tradisi lokal merupakan salah satu dasar hukum yang menjadi pijakannya. Tradisi Madinah dalam banyak hal menurutnya lebih kuat daripada hadis Nabi dengan transmisi tunggal (hadis Ahad).

Praktik hidup komunitas Madinah lebih kuat daripada hadis. Logikanya adalah bahwa tradisi ini pasti ada asal-usulnya dari Nabi. Ia kebih kuat karena ia diikuti banyak orang.

Posisinya seperti hadis populer (masyhur). Dalam “Al Fikr Al Sami” karya Al Hajwi, ada sekitar empat puluh masalah yang diputuskan berdasarkan dasar hukum ini. 

Pendirian Imam Malik menghargai tradisi lokal Madinah tersebut terus dipertahankan meski banyak ulama yang menentangnya dan meski harus berhadapan dengan penguasa.

Baca Juga: Dialog antara Al Makmun Putra Harun Al Rasyid dengan Seorang Filsuf Yunani Aristoteles

Pada suatu saat, khalifah Abbasiyah ketika itu, Abu Ja’far Al Manshur, memintanya agar kitab Al Muwattha’ yang menghimpun hadis-hadis Nabi dijadikan sumber hukum positif yang akan diberlakukan di seluruh wilayah Islam.

Imam Malik pun menolak. Katanya, “Anda tahu bahwa para sahabat Nabi berbeda-beda pandangan dan mereka telah berpencar di berbagai negeri.”

Jawaban Imam Malik di atas memperlihatkan kepada kita di samping keluasan dan kedalaman pikirannya, juga sekaligus kerendahan hatinya.

Imam Malik sangat paham bahwa di berbagai wilayah negeri ini telah berkembang berbagai tradisi hukum yang berbeda-beda. Mereka memperolehnya dari sahabat-sahabat Nabi.

Baca Juga: Kisah Perdebatan antara Imam Malik dengan Imam Al-Syafi’i yang Berbeda Pendapat, Dua Ulama Jempolan

Pandangan para sahabat Nabi tersebut tentu didasarkan pada informasi yang diperolehnya dari Nabi. Mereka memahaminya secara berbeda karena berbagai sebab.

Imam Malik menghormati semuanya. Atas dasar itu, masyarakat berhak memilih dan tidak bisa dipaksakan mengikuti satu pendapat dan tidak ada seorang pun yang berhak mengklaim kebenarannya sendiri seraya menyalahkan orang lain.

Imam Malik maupun tokoh pendiri aliran hukum (mazhab) yang lain seperti Abu Hanifah, Al Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain sama-sama menolak absolutisme kebenaran pemikiran.

Mereka mengatakan, “Pikiran dan pendapat saya adalah benar, namun selalu mengandung kemungkinan salah. Sebaliknya, pikiran dan pendapat orang lain keliru, namun selalu mengandung kemungkinan benar.”

Baca Juga: Karakter Sayyidina Umar yang Digambarkan Imam Malik

Pikiran, pandangan, dan gagasan para tokoh itu atau siapa pun sesungguhnya adalah refleksi terhadap apa yang mereka alami dan hadapi dalam ruang dan waktu mereka masing-masing.

Sayang sekali, cara pandang dan gagasan seperti ini tidak bisa diterima semua orang. Banyak orang yang mengklaim diri paling benar.

Betapa jauh sekali bedanya mereka dengan para ulama besar tersebut.

Tulisan ini dilansir dari status Husein Muhammad yang diunggah di akun Facebook pribadinya pada 1 Juni 2012.***

Editor: Joko W

Sumber: Facebook

Tags

Terkini

Terpopuler