Kisah Imam Abu Hanifah dan Khalifah Abu Ja’far Al Manshur yang Bertengkar dengan Istrinya, Persoalan Poligami

- 26 Juni 2022, 06:37 WIB
Persoalan poligami yang sudah jadi perdebatan sejak dulu
Persoalan poligami yang sudah jadi perdebatan sejak dulu /pixabay/congerdesign

BERITA BANTUL – Imam Abu Hanifah adalah seorang ahli fikih mazhab rasional yang berada di Baghdad, kota metropolitan saat itu.

Imam Abu Hanifah hidup di era akhir kekuasaan Dinasti Umayah dan awal kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Ketokohan Imam Abu Hanifah muncul ketika kepemimpinan khalifah kedua Dinasti Abbasiyah, yakni Khalifah Abu Ja’far Al Manshur.

Pada suatu ketika, Khalifah Al Manshur berdebat hebat dengan istrinya karena sang khalifah menginginkan untuk poligami. Sementara itu, sudah barang tentu bahwa istrinya tidak mau dimadu.

Dikutip dari buku berjudul Lisanul Hal (Qaf, 2020) karya K.H. Husein Muhammad, kisah antara Imam Abu Hanifah dan Khalifah Al Manshur tersebut dituliskan secara menarik. Berikut ini sajiannya.

Baca Juga: Para Sahabat Itu Mencintai Nabi dengan Cara yang Berbeda, Gus Baha: Mencintai Itu Ekspresinya Macam-Macam

Suatu ketika, Khalifah Al Manshur menghendaki poligami sementara istrinya enggan dimadu. Keduanya bertengkar tanpa berkesudahan.

Sang istri pun mengatakan bahwa harus ada penengah di antara keduanya. Sementara itu, mereka bersepakat untuk menunjuk Imam Abu Hanifah yang ketika itu memang sudah terkenal sebagai seorang yang saleh nan ahli fikih.

Imam Abu Hanifah pun didatangkan ke istana untuk menengahi persoalan poligami yang akan dilakukan oleh sang khalifah tersebut. Kebetulan juga, Imam Abu Hanifah bersedia untuk datang ke istana.

“Berapakah batas seorang laki-laki berhak menikahi perempuan dalam satu waktu?” tanya sang khalifah.

Baca Juga: Kisah Al Junaid Al Baghdadi dan Al Syibli yang Sakit secara Bersama-sama, Perbedaan Sikap Menghadapi Musuh

“Empat,” jawab sang imam.

“Berapa banyak dia boleh menikahi budak perempuan?” tanya sang khalifah lagi.

“Terserah, berapa saja ia mau,” jawab sang imam.

Setelah itu, Khalifah Al Manshur bertanya, “Apakah seorang muslim boleh menentang pandanganmu ini?”

Sang imam menjawab, “tidak.”

Baca Juga: Jangan Lakukan Dosa Ini, Buya Yahya: Tidak Ada Pintu Taubat Bagi Pelakunya!

Mendengar jawaban ini, wajah khalifah tampak semringah. Dia merasa dirinya memperoleh dukungan dari Imam Abu Hanifah untuk melakukan poligami.

Akan tetapi, Imam Abu Hanifah kemudian melanjutkan, “Memang demikian adanya. Akan tetapi, hal itu (poligami) hanya dibolehkan bagi orang yang bisa berlaku adil.”

Sang khalifah tampak mulai gusar dengan pendapat sang imam.

“Jika tidak bisa berlaku adil, maka ia hanya boleh beristri satu saja. Tuhan mengatakan: Jika kamu khawatir tidak bisa berbuat adil, maka satu saja,” lanjut sang imam. “Sudah seharusnya kita mengikuti etika Tuhan dan mengambil pengetahuan dari firman-Nya.”

Baca Juga: Ini Cara Sedekah Menurut Para Ulama, Buya Yahya: Tidak Hanya Secara Sembuyi-sembunyi, Ternyata Bisa Juga

Sang khalifah pun terdiam. Sementara itu, wajah sang istri berbinar-binar. Setelah itu, Imam Abu Hanifah mohon pamit dan segera pergi.

Itulah kisah Imam Abu Hanifah yang memutuskan suatu perkara namun tidak disukai oleh penguasa. Hal ini menjadi satu contoh bahwa hukum harus ditegakkan secara benar, bukan menurut dan tunduk pada kemauan penguasa.***

Editor: Joko W


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah