Ia dimarahi tokoh itu, karena datang ke rumahnya dengan cara melompat pagar pekarangan yang terkunci setelah tidak mendapat cara lain untuk masuk. Ini terjadi pada akhir 1970-an, zaman ketika telepon belum populer, sedangkan si wartawan memang punya janji dengan si tokoh.
Mendengar pengaduan itu malah Gus Dur yang tersinggung dan membela si wartawan. “Sok nkenes! Kebarat-baratan!” katanya, ditujukan kepada tokoh yang tidak mendengar kemarahannya itu.
Menurut Syu'bah Asa, kemarahan Gus Dur dikarenakan ia tidak terlalu menganggap serius perbuatan lompat pagar yang dilakukan dengan terpaksa itu, dibanding keperluan yang mendorongnya.
Menurut Gus Dur, itu paling-paling, kan, kenakalan anak muda. Begitu saja kok marah. Repot-repot amat. Ini semua menurut cerita si wartawan.
Tetapi, itulah Gus Dur yang dikenal para wartawan: bersahabat, tidak formal, punya empati besar, cepat bereaksi, di samping luas perhatian dan banyak guyon.
Gaya Gus Dur yang demikian itu, salah satunya, yang menjadikan tulisan dan gagasan Gus Dur unik dan orisinil, beda dengan yang lain.
Dalam kisah Syu'bah Asa, di masa-masa itu, ketika TEMPO masih berkantor di Proyek Senen, Jakarta Pusat, sekitar akhir 1970-an sampai 1980-an, Gus Dur kerap datang untuk menulis kolomnya. Produktif sekali.
Kalau tidak salah, kata Syubah Asa, yang satu belum dimuat, sudah datang yang lain.
"Andaipun terpaksa ada kolom yang harus kembali, saya kira dia juga tidak peduli. Repot-repot amat. Tapi, saya lupa mengenai itu. Yang jelas, produktivitas Gus Dur membuat Goenawan Mohamad, Pemimpin Redaksi ketika itu, menyarankan kepada saya agar mengurus satu meja khusus plus mesin ketik untuk dia," kisahnya.