Kenangan Alissa Wahid Saat Detik-detik Wafatnya Gus Dur, Air Mata Tak Tertahan Sampai Ratusan Hari

- 31 Desember 2022, 14:05 WIB
Kenangan Alissa Wahid Saat Detik-detik Wafatnya Gus Dur, Air Mata Tak Tertahan Sampai Ratusan Hari
Kenangan Alissa Wahid Saat Detik-detik Wafatnya Gus Dur, Air Mata Tak Tertahan Sampai Ratusan Hari /facebook/adib/

Berbagai kejadian terserap tanpa tercerna: mengatur komandan upacara (belakangan baru tahu bila itu panglima TNI), mbah Muslim yang menyabetkan sorbannya kepada tentara yang terlalu dekat ke liang lahat, surban kyai yang kami jadikan pengikat kain kafan, orang-orang yang memanjat pohon dan atap pondok pesantren sambil menangis demi bisa menyaksikan pemakaman, pelukan Gus Mus kepada kami, menerima bendera Merah Putih dari tangan Ibu (belakangan kami sepakati kain batik dan bendera ini diberikan kepada Inayah, yang hari itu harus berulangtahun dalam duka nestapa).

Momen teremosional bagi saya justru saat selesai upacara pemakaman resmi dan rombongan Presiden SBY berbalik meninggalkan area makam, lalu mendadak hujan bunga. Kiranya, para peziarah yang tak yakin dapat mendekat lebih memilih untuk melemparkan bunga yang mereka pegang ke arah gundukan basah tempat jasad Gus Dur baru saja dimakamkan.

Bunga yang deras berjatuhan bersama derasnya airmata laki-laki perempuan tua muda miskin kaya mengiringi lantunan kalimat Tauhid menjadi bukti cinta yang membahana. Syahdu dalam kepedihan.

Baru hari-hari setelahnya, air mata yang tertahan itu meleleh tak terbendung sampai ratusan hari. Apalagi setelah mencoba menelusuri jejak Gus Dur di berbagai ruang. Setiap saat menemukan hal-hal baru, memberi makna atas sosok Gus Dur seutuhnya.

Mendengar tentang Gus Dur dari mereka yang bersentuhan dengannya membuat saya semakin memahami betapa Gus Dur adalah milik semua orang yang merasa memilikinya.

Sebagaimana digambarkan Kyai Zawawi Imron: kami yang tak punya alasan untuk meragukan cintamu kepada buruh pencangkul yang tak punya tanah atau kepada nelayan yang tidak kebagian ikan…

Sejak hari pemakaman itu, kehidupan saya berubah 180 derajat. Segala hal yang sebelumnya saya hindari, sekarang menjadi keseharian. Keinginan hidup dalam privasi setelah trauma periode istana, harus ditinggalkan.

Keinginan berinvestasi finansial untuk menyamankan gaya hidup keluarga kecil, diganti dengan berinvestasi membangun gerakan murid Gus Dur. Keinginan untuk tenang memikirkan diri dan keluarga kecil sendiri harus berubah menjadi ketidaktenangan memikirkan nasib kelompok-kelompok lemah yang dulu dibela Gus Dur.

Tidak pernah terbayangkan harus menjadi Simbok gerakan ribuan orang di ratusan kota dalam Jaringan Gusdurian, mengisi panggung dan pertemuan dari tingkat desa sampai forum internasional, dan bahkan harus muncul di media massa (sesuatu yang tidak pernah membuat saya merasa nyaman), serta yang paling berat: bergaul dengan para politisi dan partai politik.

Semuanya saya jalani sebagai harga yang harus saya bayar untuk meneguhkan cinta saya kepada Bapak, dengan cara melanjutkan apa yang menjadi perjuangannya.

Halaman:

Editor: Amrullah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x