Cak Nun, menurutnya, bercengkrama bisa semalam suntuk. Mendengarkan keluh kesah. Membesarkan hati. Selama 20 tahun keliling Indonesia tanpa henti. Sudah “jalan kaki” ke lebih dari 1.300 desa di 28 provinsi.
"Cak Nun tidak mengenal gengsi seperti kebanyakan diri kita. Meski sering keliling dunia di empat benua, bertemu petinggi-petinggi negara dan pemuka agama taraf internasional, beliau mau berteman akrab dengan kuli-kuli gendong di pasar. Meski sahabat seorang raja (Sultan HB X), beliau tetap mau kumpul-kumpul cekakakan dengan para preman dan para tukang becak," lanjutnya.
Meski di-kiyai-kan oleh para kiyai, katanya, Cak Nun tetap mau mengadakan pengajian khusus untuk para pelacur di beberapa tempat.
"Tidak pernah memvonis masuk neraka, tapi untuk membesarkan hati," tegasnya.
Baca Juga: Keistimewaan Abah Guru Sekumpul dalam Kaca Mata Batin Cak Nun
Menurutnya, kalau diri kita tidak bisa menolong para pelacur untuk keluar dari lembah hitam, diri kita jangan juga lantas memutus harapan para pelacur dari kasih sayang Allah.
Ingin tampak lebih gagah dan lebih suci? Hanya orang yang tidak gagah dan tidak suci yang butuh pengakuan.
"Jangankan membutuhkan pengakuan, bahkan beliau senang menutupi aneka kebesaran yang sudah melekat pada dirinya sendiri," tegasnya.
Sekalipun keturunan Imam Zahid, katanya, tapi tidak mau dipanggil gus.
"Imam Zahid itu sahabat Hadratusyeikh Hasyim Asy’ari, sama-sama santri kinasihnya Syaihkona Kholil Bangkalan. Tak heran pula Gus Dur sangat menyayangi Cak Nun, demikian pula sebaliknya," tegasnya.***