4 Tingkatan Politik Menurut Imam Ghazali, Gus Ulil: Politik Nabi yang Tertinggi

- 14 Februari 2022, 22:27 WIB
4 Tingkatan Politik Menurut Imam Ghazali
4 Tingkatan Politik Menurut Imam Ghazali /facebook/kholil.ahmad.16/

BERITA BANTUL - Imam Ghazali dikenal luas sebagai ulama besar Islam. Karya-karya sangat banyak, beragam jenis keilmuan. 

Puncak karya Imam Ghazali adalah kitab Ihya Ulumuddin. Kitab ini dibaca jutaan manusia. Bukan saja umat Islam, tapi juga umat agama lain. 

Di Indonesia, Ngaji Ihya sangat ramai di berbagai pelosok negeri. Salah satunya adalah yang diampu Gus Ulil Abshar Abdalla. 

Baca Juga: 2 Ribu Jadi 2 Miliar, Kisah Gus Ulil Sowan Kepada Habib Syech Solo

Sebagaimana yang dikutip BeritaBantul.com dari akun facebook Ulil Abshar Abdalla, dijelaskan bahwa Imam Ghazali membagi politik menjadi empat tingkatan. 

"Di antara 4 jenis pekerjaan, siyasah/politik menduduki posisi yang paling penting untuk membantu membangun kehidupan yang tertib dan teratur," tegas Gus Ulil, pengampu Ngaji Ihya online yang selalu diikuti ratusan santri online-nya.

Empat jenis pekerjaan yang dimaksud, kata Gus Ulil, adalah menanam, menenun/merajut, membangun/sipil engineering, dan mengatur (siyasah/politik).

"Siyasah adalah jenis pekerjaan yang mengatur, mengelola kehidupan bersama, bermasyarakat, bernegara. Bisa berupa mengatur kehidupan sosial politik, ekonomi dan budaya, dan lainnya," tegas Gus Ulil yang juga menantu Gus Mus Rembang ini.

Baca Juga: Tidak Marah Saat Dicaci dan Di-bully, Ini Caranya Agar Hidup tetap Bahagia Penuh Berkah

Adapun empat tingkatan politik menurut Imam Ghazali dijelaskan Gus Ulil berikut ini. 

1. Politik para nabi. Politik ini bersifat totalistik karena menyangkut ruang lingkup awam (umum) dan khowas (elite) dengan target kehidupan dhohir dan batin, rohani (akhlak) dan jasmani (attitude) atau internum dan eksternum secara menyeluruh. Era kenabian sudah berakhir sepeninggal Rasulullah SAW.

2. Politik para raja. Politik ini uang lingkupnya untuk kaum awam dan khowas, tapi targetnya hanya mengurusi aspek lahiriah saja (eksternum).

3. Politik ulama sebagai pewaris Nabi. Politik tingkat ini ruang lingkupnya adalah kaum khowas (elite) yang terdidik secara literer. Targetnya adalah aspek batin (internum) untuk membantu orang yang mencari ilmu memperbaiki aspek batinnya.

4. Politik penceramah. Tingkatan ini ruang lingkupnya adalah orang awam dengan target lebih pada perbaikan aspek lahiriah (eksternum).

Baca Juga: Gampang Tersinggung dan Mudah Marah Disebabkan Salah Pahami Diri Sendiri, Bagaimana Solusinya?

Dua Model Siyasah Pasca Kenabian

Di samping empat tingkatan tersebut, lanjut Gus Ulil, Imam Ghazali secara garis besar membagi siyasah pasca kenabian dalam 2 hal. Pertama,  politik raja-raja (duniawi). Kedua, politik ulama (ukhrawi).

"Pemilahan ini sekaligus menjadi sanggahan bagi ilmuwan barat yang mengklaim diri sebagai pencetus rasionalisme dan sekularisme," tegas Gus Ulil.

Seperti diketahui, kata Gus Ulil, Al Ghazali lahir di Thus, Khurasan, Iran, pada tahun 450 H / 1058 M dan wafat di Thus pada 505 H/1111 MM dalam usia 52-53 tahun.

"Sedangkan filosof barat yang dianggap tokoh aliran Rasionalisme seperti Rene Descartes hidup pada tahun 1596- 1650 M. Ada rentang waktu sekitar 500 tahun di antara keduanya," lanjutnya.

Gus Ulil juga menegaskan bahwa Al Ghazali populer di kalangan pemikir barat dengan sebutan Algezel.

Baca Juga: Renungan Gus Mus tentang Nabi Muhammad dan Abu Lahab

"Jadi, di sisi mana anggapan bahwa Al Ghazali adalah biang kemunduran pemikiran Islam?," pungkas Gus Ulil. 

Itulah kejernihan pemikiran Imam Ghazali yang disampaikan Gus Ulil, semoga bermanfaat.***

Editor: Muhammadun

Sumber: Facebook Ulil Abshar Abdalla


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah