Mirisnya, perselisihan yang terjadi dalam pertumpahan darah tersebut justru oleh internal umat Islam (beberapa riwayat menyatakan ada rongrongan dari orang-orang munafik).
Utsman terbunuh oleh umat Islam sendiri setelah dikepung. Pertumpahan darah tersebut menjadi hilir dari beberapa pertumpahan darah setelahnya, terutama di masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan awal era Dinasti Umayah.
Baca Juga: Biografi Ali Al Akbar, Putra Sayyidina Husein yang Tewas di Karbala
Setelah Utsman bin Affan wafat, Ali bin Abi Thalib dipilih untuk menjadi pemimpin, pengganti (khalifah) Utsman.
Oleh Aisyah binti Abi Bakar (salah satu istri Rasulullah saw.), Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan beberapa sahabat lain, Ali dituntut untuk segera mengusut kasus pembunuhan terhadap Utsman.
Ali mengiyakan, namun tidak segera bertindak lantaran menurutnya, ada hal lain yang lebih penting untuk diselesaikan; stabilitas politik dan menenangkan gaduh perpecahan.
Hanya saja, Aisyah, Thalhah, dan Zubair tidak sabar terhadap kebijakan Ali tersebut sehingga menjadikan mereka salah paham.
Lagi, umat Islam terpecah menjadi dua kubu; yang pertama ialah kubu Kufah yang mendukung Ali dan yang kedua ialah kubu Bashrah yang mendukung Aisyah, Thalhah, dan Zubair.
Kedua kubu, karena termakan fitnah, akhirnya bertempur dalam Perang Jamal. Thalhah dan Zubair wafat, Ali menangis atas kewafatan dua sahabat baiknya itu.