Kisah Ibrahim bin Adham dan Persahabatannya dengan Sahl Al Tustari; Potret Keluhuran Akhlak yang Terpuji

- 26 Agustus 2022, 16:30 WIB
/

 

BERITA BANTUL - Kisah Ibrahim bin Adham dan persahabatannya dengan Sahl Al Tustari. Inilah potret keluhuran akhlak yang terpuji.

Ibrahim bin Adham (w. 161 H/778M) lahir di Balkh, adalah anak seorang jutawan yang tak betah tinggal di rumahnya yang sangat luas dan megah bagai istana raja.

Dia lebih suka mengembara sambil berpuasa untuk berguru kepada para ulama terkemuka di Irak, Syria, dan Hijaz.

Ketika dia berada di Kilikiya, seorang hamba sahaya ayahnya datang memberitahu bahwa ayahnya meninggal dunia beberapa saat yang lalu. Dia pun menyerahkan uang warisan ratusan ribu dirham.

Baca Juga: Nabi Menggendong Hasan dan Husein saat Shalat, Gus Baha: Shalat Itu Ibadah, Menyayangi Anak Kecil juga Ibadah

Ibrahim, dengan uang itu kemudian memerdekakan si hamba dan menyerahkan sisanya kepadanya, si hamba sahaya itu.

Dia tidak suka uang dari usaha perdagangan yang boleh jadi tidak jelas keadaan halal dan hramnya (syubhat).

Dia lebih suka memperoleh uang dari bekerja dengan tangannya sendiri di ladang atau menunggu kebun.

Di kemudian hari ia menjadi seorang sufi terkemuka.

Sahl Al Tustari  pernah bercerita tentang Ibrahim bin Adham. Begini ceritanya:

Baca Juga: Pendapat Ibn Rusyd tentang Keutamaan Perempuan yang Dikutipnya dari Plato

Aku dan seorang temanku pernah bersama-sama melakukan perjalanan jauh bersama Ibrahim bin Adham. Di tengah jalan, aku jatuh sakit.

Untuk mengobati sakitku diperlukan biaya yang cukup besar. Ibrahim kemudian menjual semua miliknya.

Bahkan keledai kesayangan yang digunakannya untuk perjalanan itu pun ikut dijualnya.

Ketika aku sembuh, aku menanyakan perihal keledainya. Ibrahim pun menjawab bahwa keledai tersebut telah dijual.

“Lalu dengan apa kita akan meneruskan perjalanan yang masih beberapa kilometer lagi?” tanya Sahl Al Tustari.

“Naiklah di kedua bahuku!” jawab Ibrahim.

Baca Juga: Imam Malik bin Anas dan Pemikirannya tentang Tradisi Lokal yang Menjadi Dasar Pijakan Mazhab Fikihnya

Fariduddin Attar (1155-1230M), penyair sufi terbesar dari Persia dan penulis buku terkenal, Manthiq Al Thair (Perbincangan Burung), menceritakan kisah lain dari dua orang sufi besar tersebut; Ibrahim bin Adham dan Sahl Al Tustari. Begini ceritanya:

Ketika mereka harus tidur di masjid yang rusak, Ibrahim tidak ikut tidur. Dia berdiri dekat pintu sampai  pagi.

Manakala Sahl bangun, dia bertanya mengapa dia melakukan itu.

Ibrahim pun menjawab, “Cuaca tadi malam sangat dingin. Aku sengaja berdiri agar kamu tidak menderita kedinginan dan biarlah aku yang menanggungnya.”

Begitulah Ibrahim bin Adham. Dia memang seorang pemimpin.

Baca Juga: Parodi Muazin Bersuara Jelek yang Azannya Membuat Orang Kristen Merasa Berbahagia karenanya

Sahl Al Tustari adalah pemimpin para sufi terkemuka, kelahiran Persia, Iran, yang wafat di Bashrah, Irak.

Dia juga menjalani kehidupan sederhana dan asketis, melakukan perjalanan ke berbagai negeri antara lain Mesir dan Mekkah.

Dia pernah dibuang dari kampung halamannya karena pikiran-pikirannya yang dianggap aneh atau nyeleneh. 

Dalam tradisi sufisme, dia dihormati karena telah mewariskan visi dan kearifan Helenistik dan mengintegrasikannya ke dalam kearifan sufi Islam.

Baca Juga: Indahnya Wajah Rasulullah Sesuai Kesaksian Para Sahabat Nabi

Artikel di atas dilansir dari catatan Husein Muhammah yang diunggah di akun Facebook pribadinya pada 7 Januari 2012.***

Editor: Joko W

Sumber: Facebook


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah