9 Pedoman Berpolitik Warga NU Hasil Muktamar Yogyakarta Tahun 1989, Tidak Boleh Memecahbelah Persatuan

- 24 November 2022, 20:43 WIB
9 Pedoman Berpolitik Warga NU Hasil Muktamar Yogyakarta Tahun 1989, Tidak Boleh Memecahbelah Persatuan
9 Pedoman Berpolitik Warga NU Hasil Muktamar Yogyakarta Tahun 1989, Tidak Boleh Memecahbelah Persatuan /youtube jashijau/

NASIONAL - 9 Pedoman Berpolitik Warga NU Hasil Muktamar Yogyakarta Tahun 1989, Tidak Boleh Memecahbelah Persatuan.

Keputusan Muktamar Yogyakarta tahun 1989 terkait 9 pedoman berpolitik warga NU itu merupakan kelanjutan dari Khittah NU yang sudah ditegaskan Muktamar Situbondo.

Tahun 1984, Nahdlatul Ulama menyelenggarakan Muktamar ke-27 di Pesantren Salafiyah Syafiiyyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.

Baca Juga: 9 Waliyullah di Jawa yang Bertemu Nabi Khidir, Ada yang Dimakamkan di Gunungpring

Tokoh-tokoh NU yang menjadi lokomotif khittah NU ini digawangi para kiai senior seperti KH As'ad Syamsul Arifin, KH Ali Maksum, KH Mahrus Aly Lirboyo, KH Achmad Siddiq, dan lainnya.

Sedangkan kiai muda dikomandani oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), Fahmi D. Saifuddin, dan lainnya.

Muktamar ke-28 NU di Yogyakarta tahun 1989 dilaksanakan di Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta asuhan KH Ali Maksum.

Dalam Muktamar tersebut, diputuskan 9 pedoman berpolitik warga NU sebagaimana berikut ini.

Pertama, berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. 

Baca Juga: Pemikiran Kiai NU Akan Jadi Rujukan Dunia Kata Gus Ulil dalam Halaqoh Fiqih Peradaban di Yogyakarta

Kedua, politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat. 

Ketiga, politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama. 

Keempat, berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang berketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijakasanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kelima, berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.

Baca Juga: 7 Bukti Tingginya Penghormatan Para Kiai NU Kepada Keturunan Rasulullah

Keenam, berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional, dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah. 

Ketujuh, berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecahbelah persatuan.

Kedelapan, perbedan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga Nahdlatul Ulama harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama. 

Kesembilan, berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisiasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.***

Editor: Amrullah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah