Pernyataan beliau itu bukan sekedar cetusan emosi, melainkan suatu penegasan bagi umatnya, bahwa puteri beliau itu merupakan lambang keagungan abadi yang ditinggalkan di tengah umatnya.
Di kala masih kanak-kanak, Sayyidah Fatimah Azzahra RA menyaksikan sendiri cobaan yang dialami oleh ayah-bundanya.
Cobaan itu berupa gangguan-gangguan dan penganiayaan-penganiayaan yang dilakukan orang-orang kafir Quraisy.
Ia hidup di udara Makkah yang penuh dengan debu perlawanan orang-orang kafir terhadap keluarga Nabi, keluarga yang menjadi pusat iman, hidayah dan keutamaan.
Ia menyaksikan ketangguhan dan ketegasan orang-orang mukminin dalam perjuangan gagah berani menanggulangi komplotan-komplotan kafir Quraisy.
Baca Juga: 3 Sosok Zainab Putri Sayyidina Ali, yang Wafat di Mesir Jadi Saksi Kasus Karbala
Suasana perjuangan itu membekas sedalam-dalamnya pada jiwa Sayyidah Fatimah Azzahra RA.
Itu juga memainkan peranan penting dalam pembentukan pribadinya, serta mempersiapkan kekuatan mental guna menghadapi kesukaran-kesukaran dirinya di masa depan.
Setelah ibunya wafat, Sayyidah Fatimah Azzahra hidup bersama ayahandanya. Satu-satunya orang yang paling dicintai.
Fatimah lah yang meringankan penderitaan Rasulullah SAW tatkala ditinggal wafat isteri beliau, Siti Khadijah.