Baca Juga: Memperebutkan Makna Gus Dur, Sosok Pluralis yang Dikenang Dunia hingga Lintas Agama
Tidak ada tokoh besar pada setiap zaman kecuali dicaci maki orang-orang bodoh. Orang-orang terhormat selalu diuji oleh orang-orang pinggiran. Dulu Nabi Adam dilawan Iblis, Nabi Nuh dilawan Ham dan lainnya, Nabi Dawud dimusuhi Jalut dan pasukannya, Nabi Sulaiman dilawan Shakhr, Nabi Isa dilawan Bukhtanshir, Nabi Ibrahim dilawan Namrud, Nabi Musa dilawan Fir’aun, dan seterusnya sampai Nabi Muhammad saw. Beliau dilawan Abu Jahal.
Para tokoh bijak bestari dalam sejarah memang tidak hanya disumpahserapahi dan dibenci tetapi juga dikafirkan, dibidahkan, dituduh ateis, dan ingin dilenyapkan oleh mereka.
Mereka yang berbuat demikian itu tak matang secara intelektual dan spiritual, pikiran mereka tergantung pada bentuk-bentuk kredo formal dan teks-teks literal keagamaan, serta fanatisme pada kebenaran diri sendiri dan buta pada kebenaran yang lain.
Imam Al Ghazali, sang sufi besar, menyebut orang-orang yang mudah menyalahkan, menyesatkan, apalagi mengafirkan orang lain sebagai orang-orang yang memiliki pengetahuan terbatas, sangat dangkal, atau sebatas kulit belaka.
Pada masa sebelum Nabi Muhammad saw., orang-orang seperti itu disebut "juhala", kata plural dari kata "jahil".
Kata itu secara literal berarti orang-orang bodoh. Akan tetapi, sesungguhnya itu merujuk pada mereka yang tak mengerti hak-hak kemanusiaan orang lain, sifat lekas marah, mengagumi diri sendiri, fanatisme yang tinggi (terhadap kelompoknya), angkuh, dan ekstrem.
Di atas semua itu, mereka mempunyai kecenderungan kronis kepada kekerasan dan pembalasan dendam.
Imam Al Ghazali selanjutnya mengatakan bahwa seyogianya keterbatasan pengetahuan dan kedangkalannya itu hanya bagi dirinya sendiri dan tak boleh dipaksakan kepada yang lain.