Konflik Habaib dan Keluarga Walisongo (5): Hidung Pesek Apa Bisa Diakui Habib?

- 31 Mei 2023, 19:01 WIB
KH Ali Badri Pasuruan
KH Ali Badri Pasuruan /ali.azmatkhan.98/

TOKOH - Konflik Habaib dan Keluarga Walisongo (5): Hidung Pesek Apa Bisa Diakui Habib?

Serial kelima penjelasan KH Ali Badri Pasuruan ini mengupas awal mula perjalanannya dalam menguak lebih jauh nasab keturunan walisongo.

Pada saat bersamaan, KH Ali Badri juga memulai komunikasi dengan Rabithah Alawiyah (RA) agar terjadi komunikasi yang baik. 

Baca Juga: Konflik Habaib dan Keluarga Walisongo (4): Kenapa Suka Mengumpat, Kasar dan Merendahkan Pribumi?

Bagaimana kisah penjelasan selengkapnya? Simak berikut ini.

MENYIKAPI KONFLIK HABAIB & KELUARGA WALISONGO (5): Hidung Pesek Apa Bisa Diakui Habib?

YANG KEEMPAT mengenai ucapan pendukung Gus Fuad bahwa beliau adalah keturunan Sunan Ampel.

Ini adalah akibat dari kesalahan presepsi terkait point ketiga, yaitu ketika ada orang mengkritik sekelompok habib maka dianggap benci semua habib, bahkan lebih dari itu dianggap benci keturunan Rasulullah SAW.

Anggapan itupun menguat menjadi tuduhan dan bukan hanya dilontarkan oleh kalangan bawah pendukung Kadrun, tapi bahkan dilontarkan juga oleh oknum habaib.

Nah, atas tuduhan itu maka pendukung Gus Fuad menolak dengan dalih bahwa Gus Fuad juga keturunan Rasulullah SAW melalui Sunan Ampel, artinya tidak mungkin beliau itu membenci habaib karena mereka masih keluarga beliau sendiri, yakni sama-sama keturunan Rasulullah SAW.

Nah, mendengar penolakan dan argumentasi pendukung Gus Fuad ini, maka tampillah seorang Habib Bahar bin Sumaith dan dengan lantangnya mengatakan bahwa Walisongo itu tidak memiliki keturunan, kalaupun ada hanya dari garis perempuan.

Baca Juga: Konflik Habaib dan Keluarga Walisongo (3): Faktor Cebong dan Kadrun Membuat Suhu Makin Panas

Sebelum dilanjutkan, saya rasa, saya harus memperjelas cerita konflik masa lalu, supaya saudara-saudara lebih mudah memahami kronologi konflik dari babak pertama (2005) hingga babak kedua ini.

Saya akan berusaha mempersingkat ceritanya dan sekiranya mencakup semua hal penting dalam perjalanan sejarah itu.

Pada tahun 2003 saya ngobrol santai dengan beberapa Kiai di Makkah Al-Mukarramah, saat itu saya berusia 28 tahun.

Saya lupa bagaimana awalnya kemudian obrolan itu mengarah ke bab nasab, sehingga salah seorang dari Kiai-kiai itu berkata sambil bercanda:

"Kita-kita ini, kan, memiliki nasab pada Walisongo. Katanya Walisongo itu habib, berarti kita-kita ini habib, ya."

Maka Kiai yang lain menimpali dengan bercanda juga: "Tapi hidung kita pesek begini, apa habaib mau mengakui kita?"

Semua yang ada di ruangan itupun tertawa. Waktu itu saya tidak banyak tahu tentang nasab Walisongo, saya hanya sering mendengar bahwa tokoh terkenal Kiai fulan adalah keturunan Sunan fulan.

Baca Juga: 7 Fakta KH Imaduddin Utsman, Ulama Banten yang Mempertanyakan Nasab Habaib di Indonesia

Sepulang dari Makkah, saya sering terngiang dengan kata-kata "tapi hidung kita pesek begini, apa habaib mau mengakui kita?"

Walaupun kata-kata itu diucapkan dengan bercanda, namun saya melihat ada hal yang serius dari kata-kata itu.

Menurut saya, para Kiai itu sebenarnya ingin bersialturrahim dengan habaib sebagi sesama keluarga keturunan Rasulullah SAW, namun mereka tidak percaya diri.

Saya pun mulai berfikir untuk meneliti nasab para Kiai dan sayapun memulai dari nasab saya sendiri, karena saya memiliki "rahasia" keluarga yang sejak dulu seperti sengaja dilarang untuk diungkap.

Saya mendapat riwayat nasab dari ayah saya, bahwa nasab kami bersambung pada Raden Qabul atau Syekh Aji Gunung (Sampang Madura).

Karena ayah saya sudah meninggal maka saya mencari sesepuh keluaga yang mengetahui riwayat nasab itu.

Saya pun menemukan riwayat yang sama dipegang oleh seorang Kiai kampung yang tinggalnya tidak jauh dari desa saya, namanya Kiai Mahfuzh dan beliau adalah sepupu dua kali dengan ayah saya.

Kakek beliau adalah kakak kandung dari kakek ayah saya.

Adapun yang saya maksud "rahasia" keluarga itu adalah bahwa kami secara turun termurun memang sengaja diputus hubungan dengan keluarga yang di Madura.

Baca Juga: Konflik Habaib dan Keluarga Walisongo (2): Siapapun yang Menjual Nasab Leluhurnya adalah Pecundang!

Suatu ketika saya bertanya pada ayah saya, kenapa saya tidak pernah dibawa ke Madura untuk ziarah ke makam eyang dan silaturrahim dengan keluarga di sana, beliaupun berkata:

"Aku sendiri tidak pernah dibawa ke Madura oleh kakekmu, katanya eyang kita itu adalah seorang wali besar madura, kalau anak-anak kita tahu bahwa kita ini keturunan wali besar, kita dikhawatirkan malah akan menyombongkan nasab."

Saya memahami kehawatiran kakek saya, dengan melihat kenyataan bahwa banyak sekali orang yang sombong karena nasabnya dan bahkan terkadang merendahkan orang lain.

Sayapun berfikir bahwa tidak tahu nasab tapi tawadhu' itu jauh lebih baik daripada tahu nasab tapi sombong.

Saya berfikir lama untuk mengambil keputusan, hingga akhirnya saya melihat bahwa kekhawatiran leluhur itu justru harus dicari solusinya, karena suatu saat bisa saja anak-anak saya dan keluarga yang lain akhirnya tahu juga.

Maka solusi harus disiapkan agar setelah tahu nanti anak-anak kami tidak menjadi sombong.

Maka dengan memohon bimbingan Allah, sayapun mulai menelusuri nasab Raden Qabul atau Syekh Aji gunung hingga akhirnya terjalin silaturrahim dengan sesama keturunan Syekh Aji Gunung yang di Madura.

Ternyata beliau memang seorang wali besar yang merupakan guru dari para wali Madura di zamannya, nasab beliau menurut versi keluarga Pesantren Jeranguan bersambung pada Sunan Ampel, namun menurut versi lain bersambung pada Sunan Kudus.

Baca Juga: Konflik Habaib dan Keluarga Walisongo dalam Kesaksian KH Ali Badri Pasuruan, Tetap Sayang Habaib Selamanya (1)

Kemudian saya mulai meneliti nasab Kiai-kiai yang lain, khususnya di Madura, berlanjut pada Kiai-kiai Jawa Timur yang lain, juga Jawa Tengah, Jawa Barat dan Banten.

Dalam waktu dua tahun saya mendapatkan sekitar seratus keluarga besar Kiai yang memiliki riwayat dan atau catatan nasab bersambung pada Syekh Jumadil Kubro.

Masing-masing keluarga besar itu memilki banyak anggota yang tercatat dan sebagiannya mencapai ribuan anggota.

Saya pun berfikir untuk membawa data yang saya dapatkan itu pada RA (Rabithah Alawiyah), hingga akhirnya saya memiliki ide untuk menulis surat pada RA, surat itu saya tulis dalam bahasa Arab.

Waktu itu masih ada Habib Anis bin Syihab, seorang habib sepuh di Lawang, Malang, beliau dekat dengan ayah saya.

Saya pun berkonsultasi dengan beliau dan beliau menyarankan agar saya meminta rekomendasi dari seorang habib, sebut saja habib X, agar habib X merekomendasikan surat saya pada RA, dengan harapan agar RA lebih peduli untuk memperhatikan surat saya.

Dalam surat itu saya menyebutkan niat saya untuk silaturrahim, saya mengawali silaturrahim itu dengan memperkenalkan nasab saya.

Saya meminta agar RA meneliti nasab saya sebagai sample, saya bilang bahwa di belakang saya ada ribuan keluarga yang kalau nasab mereka bisa diterima maka ini adalah pintu sialturrahim yang amat besar manfaatnya.

Karena Kiai dan habaib bukan hanya saudara seperjuangan, tapi juga saudara sedarah yang berarti hubungan itu akan menjadi lebih kuat, dan tentu saja kekuatan hubungan itu akan besar manfaatnya untuk ummat.

Baca Juga: Ketika Kiai dan Habaib Saling Cinta dan Hormat, Kisah Kiai Hamid Pasuruan dan Keturunan Nabi

Saya mengirim orang untuk membawa surat itu pada habib X, maksud saya agar habib X menuliskan surat rekomendasi untuk dilampirkan pada surat saya kemudian diantar ke kantor RA.

Singkat cerita habib X malah "menjegal" saya dan mengambil surat itu dari utusan saya.

Saya yang kecewa kemudian curhat pada beberapa habib yang saya kenal, diantaranya pada Habib Husain Assegaf Gresik, seorang habib sepuh yang dikenal dengan "Habib Potlot", saya dekat dengan beliau karena saat itu kami sama-sama menjadi pembimbing haji-umrol di sebuah travel.

Rupanya salah satu nenek beliau adalah keturunan Sunan Cendana Bangkalan, sehingga beliau banyak tahu tentang nasab Kiia-kiai Madura, beliaupun menyarankan agar saya membuat perhimpunan sendiri, yakni perhimpunan keluarga Walisongo.

Ide Habib Husain itu bagus sekali, namun saat itu (2005) saya masih muda, umur saya baru 30 tahun, saya merasa tidak enak kalau saya memimpin perhimpunan keluarga Walisongo yang tentunya akan beranggotakan Kiai-kiai sepuh juga.

Sayapun mencari Kiai sepuh yang sekiranya mau menjadi ketua, sehingga saya memilih seorang paman sepupu saya, yaitu KH. Ali Ridho Shinhaji (Pesantren Tattangoh, Pamekasan Madura).

Beliau adalah kakak kandung Abuya KH. Ali Karrar Shinhaji, di Madura beliau lebih akrab dipanggil Kiai Ndon.

Pertimbangan saya, Kiyai Ndon itu termasuk ulama' sepuh dan cukup disegani oleh Kiai-kiai Madura, beliau dari keluarga Kiai besar, berperawakan gagah dan pemberani.

Awalnya beliau menolak, namun setelah saya jelaskan banyak hal akhirnya beliau berkenan.

Lembaga keluarga Walisongopun mulai aktif, nama singkatnya "Majlis Drurriyat Walisongo", adapaun nama resminya dalam bahasa Arab adalah "Rabithah Al Azmatkhan Al-Husaini".

Karena saat itu semua keluarga Walisongo sepakat menggunakan nasab Walisongo versi Azmatkhan, sesuai yang diakui oleh habaib, nama Arabnya kemudian berganti dari Rabithah menjadi Naqabah.

Perlu diperhatikan, lembaga ini berbeda dengan lembaga Azmatkhan yang dibuat oleh saudara Shohibul Faroji, dia memang pernah menjadi sekretaris saya kemudian keluar dengan sebab yang tidak perlu saya ceritakan, lalu diapun membuat lembaga sendiri.

Awalnya banyak Kiai yang tidak setuju dengan pendirian Majlis Dzurriyat Walisongo, alasannya persis dengan yang dihawatirkan oleh kakek saya, yaitu takut anak-anak menyombongkan nasab.

Namun setelah saya jelaskan visi-misinya, termasuk untuk antisipasi karena sekarang anak-anak Kiai sudah banyak tahu nasabnya.

Baca Juga: Keberkahan Keluarga Habaib Itu Nyata, Dicintai Jutaan Umat Islam di Indonesia

Ceritanya, banyak Kiai yang menyembunyikan nasab dari anak-anaknya, tapi sepupu jauh Kiai itu membuka nasab, tentunya masing-masing punya alasan yang bisa dibenarkan, sehingga akhirnya anak-anak Kiai yang menyembunyikan nasab itupun tahu dari sepupu jauhnya.

Saya pikir percuma menutup nasab karena akan bocor juga, sekalian saja dibuka kemudian dipertegas kepada anak-anak bahwa leluhur sangat membenci orang yang menyombongkan nasab, keturunan orang mulia harus lebih rajin dan lebih tawadhu' daripada yang lain!

Keberadaan lembaga ini juga saya anggap penting untuk silaturrahim, apalagi yang disatukan adalah ulama' dan tokoh sesama keturunan Walisongo.

Tentu ini sangat bermanfaat sebagai tajdidul-ulfah (pembaharuan kasih sayang) bagi para Kiai sesama keturunan Walisongo yang selama ini telah menjalin hubungan sebagai pendakwah, sehingga persatuan keluarga ini akan bermanfaat juga untuk ummat, sehingga untuk lembaga ini sayapun membuat motto "Dari Sebuah Keluarga Untuk Ummat".

Setelah saya jelaskan semua itu maka Kiai-kiai yang awalnya menolak kemudian mendukung, termasuk KH. Maimoen Zubair Sarang (Rembang Jawa Tengah).

Saya berdiskusi dengan beliau sekitar dua jam, waktu itu saya ditemani oleh KH. Mas'udi Busyiri (Pesantren An-Nur, Bululawang Malang) dan diantar oleh salah satu putra KH. Maimoen Zubair, yaitu KH. Abdur Ra'uf Maimoen.

Di akhir diskusi itu, KH. Maimoen Zubair kemudian merekomendasikan nama-nama Kiai besar yang beliau kenal nasabnya, agar saya menemui mereka juga.

Walaupun secara resmi ketua Majlis Dzurriyat Walisongo adalah KH. Ali Ridho dan saya hanya wakil ketua, namun orang-orang tahunya saya yang mendirikan, sehingga habaib yang keberatan dengan munculnya nasab keturunan Walisongo kemudian "menyerang" saya.

Singkat cerita saya berkonflik dengan RA, hingga akhirnya pengurus pusat RA dan beberapa cabangnya menghubungi lembaga almamater saya, yaitu perhimpunan alumni Sayyid Muhammad Al-Maliki yang dikenal dengan nama Ash-Shofwah.

RA mendesak Ash-Shofwah untuk menyidang saya. Ketika ketua Ash-Shofwah, KH. M. Ihya' Ulumiddin, menghubungi saya dan mengatakan bahwa beliau mau pertemukan saya dengan pihak RA.

Sayapun senang sekali karena memang itu juga yang saya inginkan, bahkan saya mengajukan agar pertemuan itu disaksikan banyak pihak dan direkam video.

Namun beliau tidak mau pertemuan itu diliput media, bahkan saya hanya mau dipertemukan dengan satu orang saja mewakili RA, yaitu Habib Abdullah Maulakhelah yang merupakan senior saya sesama alumni Al-Maliki, hingga disepakatilah waktu dan tempatnya, yaitu di kediaman KH. Luthfi Bashori, Singosari Malang.

Tibalah waktu yang saya tunggu-tunggu itu, saya dipertemukan dengan Habib Abdullah Maulakhelah yang mewakili RA, beliau juga pengurus pusat di Ah-Shofwah, kalau tidak salah ketika itu beliau juga pimpinan redaksi majalah Mafahim yang diterbitkan oleh Ash-Shofwah.

Di gelanggang diskusi itu telah siap Kiai Ihya' sebagai pengamat dan Kiai Lutfi sebagai moderator.

BERSAMBUNG....

Demikian penjelasan KH Ali Badri Pasuruan yang dikutip dari catatan di facebook pribadinya yang diunggah pada 11 Mei 2023.***

Editor: Amrullah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x