Kedua, sebuah hal lumrah bagi santri yang pulang ke rumah karena kangen dengan kampung halaman, dan merupakan kesunnahan untuk membawa oleh-oleh pada ulama yang tak lain adalah gurunya. Namun tidak semua oleh-oleh diterima oleh Syekh Duqi.
Baca Juga: Hutang Lunas Tuntas, Rasakan Khasiat Fatihah 313 Kali, Ijazah Doa KH Ghofur Sunan Drajat Lamongan
Syekh Duqi sering bertanya pada santri yang membawa oleh-oleh, “Iki jajan teko ngendi (Oleh-oleh ini dari mana)?”
Jika si santri menjawab dari orangtuanya, maka Syekh Duqi berucap, “Alhamdulillah…”
Lain halnya jika jajan itu bukan dari orang tuanya, maka Syekh Duqi akan berkata sangat mengejutkan.
"Haram! Awakmu disangoni Bapak-Ibumu dingge sangu mondok, ora dingge nukokke jajan aku (Haram! Kamu dikasih uang Ayah-Ibumu untuk uang saku mondok, bukan untuk membelikanku oleh-oleh).”
Ketiga, waktu mengaji Syekh Duqi sering bercerita, “Aku kuwi anake bakul beras, budal mondok adol pitik, tak tukokne rokok, tak dol nang santri Tremas (Aku hanyalah anak pedagang beras, pergi mondok dengan menjual ayam, kemudian uangnya aku belikan rokok, dan kujual ke santri Tremas).”
Keempat, dalam kesempatan lain, waktu beliau ngaji, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Spontan santri yang mengikuti ngaji semburat melarikan diri. Dengan tersenyum beliau berkata, “Santri, santri, koq wedi karo rohmate Pengeran.” (santri-santri kok takut dengan rahmatnya Tuhan).
Kemudian beliau dengan tidak tergesa-gesa meninggalkan tempat pengajian dengan berpayungkan sajadah beliau.