“Jika tidak bisa berlaku adil, maka ia hanya boleh beristri satu saja. Tuhan mengatakan: Jika kamu khawatir tidak bisa berbuat adil, maka satu saja,” lanjut sang imam. “Sudah seharusnya kita mengikuti etika Tuhan dan mengambil pengetahuan dari firman-Nya.”
Sang khalifah pun terdiam. Sementara itu, wajah sang istri berbinar-binar. Setelah itu, Imam Abu Hanifah mohon pamit dan segera pergi.
Itulah kisah Imam Abu Hanifah yang memutuskan suatu perkara namun tidak disukai oleh penguasa. Hal ini menjadi satu contoh bahwa hukum harus ditegakkan secara benar, bukan menurut dan tunduk pada kemauan penguasa.***