Al Hallaj lagi-lagi tak puas. Dia pun berkelana ke berbagai negeri di Timur Tengah dan sampai Persia, India, dan China.
Di berbagai tempat itu, yang dijalaninya selama lima tahun, dia memperoleh banyak sekali pengetahuan eksoterik, terutama sekali esoterik.
Entah sesudah atau di antara pengembaraan itu, dia ke Mekkah lagi.
Dari perjalanan ini dia mulai tampil dengan gagasan-gagasan sufismenya yang menggemparkan. Dia sebarkan gagasan itu secara terbuka dan segera mengundang resistensi serta reaksi kebingungan dan kemarahan publik.
Ucapan-ucapan, aforisme, syair-syair, dan puisi-puisi kasmaran sekaligus cintanya kepada Tuhan semakin tak dimengerti khalayak. Dia semakin “gila”. Gila cinta dan cinta gila.
Hanya saja dalam waktu yang sama, nyawanya terancam oleh pikiran publik yang tak paham. Dia dicaci maki sebagai tukang sihir, si keparat, dan orang sinting yang mengganggu, merusak umat, dan lain-lain.
Akan tetapi, sebagian lain melihatnya sebagai pribadi memesona, nyentrik, unik yang menebarkan keramat dan keberkatan. Dialah waliyullah, kekasih Tuhan.
Al Hallaj tak peduli dengan semuanya. Dia menuliskan dan menggumamkan seluruh kegelisahan dan keriangan batinnya yang meluap-luap itu kapan saja dan di mana saja.