Cerpen Emak dan Cita-citaku Karya Muyassarotul Hafidzoh, Baca dengan Seksama, Kamu Akan Teteskan Air Mata

6 Februari 2022, 23:07 WIB
Cerpen Emak dan Cita-citaku Karya Muyassarotul Hafidzoh /facebook.com/muyassaroh.hafidzoh/

BERITA BANTUL - Penulis novel 'Hilda', yakni Muyassarotul Hafidzoh selalu menuliskan karya-karya yang terkait dengan perempuan. Perempuan kelahiran Cirebon, 25 Januari 1988 ini beberapa kali juga membaca puisi tentang perempuan dalam forum-forum seminar dan diskusi.

Novel Hilda menghentakkan publik karena mengangkat tema tentang perempuan korban kekerasan seksual yang harus bangkit di tengah kondisi sangat terpuruk.

Apresiasi atas novel Hilda dilayangkan publik sastra Indonesia, seperti Joni Ariadinata, Aguk Irawan, dan para aktivis perempuan di Yogya, Jakarta dan sebagainya.

Baca Juga: Jangan Jadikan Sumber Fitnah, Pahami Lensa Keadilan Hakiki bagi Perempuan!

Sebagaimana dikutip BeritaBantul.com dari laman facebook Muyassarotul Hafidzoh, bahwa pada tahun 2017 lahir cerpen yang menghentakkan kalau dibaca dengan seksama.

Cerpen berjudu Emak dan Cita-citaku ini berkisah tentang cita-cita, kejujuran, dan keberanian bersuara terkait kebenaran dan keadilan.

Selengkapnya, simak berikut ini.

Emak dan Cita-citaku

Cerpen Muyassarotul Hafidzoh

Emak memandangku dengan helaan nafas yang lelah. Aku tatap matanya yang begitu tenang. Aku pegang tangannya dan ku kecup dua kali. “Maafin aji ya mak...” kataku.

“Bagaimana kamu sudah ambil keputusan? Cepat selesaikan semua, dan kamu bisa langsung diterima di kantor ini,” katanya.
“Saya tulis di sini pak?” tanyaku.
“ Ya, ingat! Semakin banyak angka nol-nya, semakin tinggi jabatan yang kamu terima di perusahan ini”
Aku mengambil penaku, tanganku masih terpaku, aku masih berpikir angka berapa yang akan kutulis di atas kertas sakti ini.

Baca Juga: Sejarah Perubahan Nama Jakarta, Mulai dari Sunda Kelapa, Jayakarta, Hingga Menjadi Jakarta sampai Sekarang

Sebelum berangkat ke Kota itu.

“Ingat pesan Emak, ojo ninggalake sholat, ojo nyolong, mabok-mabokan juga jangan menghamili anak orang!” Aku tersenyum mendengar perkataan Emak.

“Injih Mak, kulo nderek.” Emak menatapku, menghentikan tangannya yang dari tadi menata makanan untuk sanguku di perjalanan.

“Emak yakin uang ini aji bawa?” tanyaku.

“He’em, Pakdemu bilang kalo kamu gak bawa uang, nanti tidak diterima di perusahaan itu,” katanya.

Aku mendekatinya, dan menjelaskan kalau aku tidak bermaksud menyakiti hatinya. Aku sangat menyayanginya. Aku pun sebenarnya berat jika meninggalkannya seorang diri.

“Ji... Emak gak bisa kasih apa-apa, Emak hanya berharap kamu bisa menggapai cita-citamu, lhe.”

Kulihat matanya yang meneteskan air, betapa aku sangat merasa bersalah menyuruh Pakde untuk meminta Emak menjual sawahnya. Sawah satu-satunya hanya untuk pekerjaan yang saya citakan.

“Emak... maafkan Aji,” Kataku dan dia memelukku.

Aku tau Emak sangat sedih. Aku adalah anak satu-satunya yang diharapkannya meneruskan sawah warisan bapak. Memang tidak banyak namun selama ini dari sawahlah Emak membiayaiku sekolah hingga menjadi sarjana.

Baca Juga: Amalan Doa Mimpi Bertemu Rasulullah, Ijazah dari Abah Guru Sekumpul Martapura

Ketika aku mendengar bahwa lamaran pekerjaanku lolos seleksi pemberkasan, begitu senang dan bangganya aku, akhirnya aku bisa kerja dan membangun impian di Kota. Beberapa kawanku yang sudah di Kota mengingatkanku tentang tes wawancara terakhir. Mereka bilang aku harus membawa uang minimal 50 juta, mereka menjelaskan bahwa uang itu menjadi modalku untuk mendapatkan posisi di perusahaan itu.

Tak banyak berpikir, aku segera memberitahukan niatku kepada Pakde, dan beliau pun memaklumi apa yang aku inginkan.

“Betul Lhe, zaman sekarang kalo gak bawa uang ya, bakal susah dapat kerjaan.”
Sekali lagi, aku terlalu senang dengan kabar pekerjaan yang aku cita-citakan ini.

“Lhe, kok malah ngelamun?” Tiba-tiba Emak mengagetkanku.

“Emak tidak keberatan, Emak cuma takut kalau kamu tidak bisa jaga diri di sana,” katanya.

Aku teringat ketika aku berangkat kuliah di Kota dan ngekos di sana, pesan Emak selalu sama, takut kalau aku tidak bisa jaga diri.

Aku memang tidak seberuntung teman-temanku di Kota, orang tua mereka bisa memenuhi kebutuhan bahkan keinginan mereka. Jadi, Emak selalu khawatir aku tidak bisa menjaga diri dan larut dalam pergaulan yang kurang baik.

Aku anak laki-laki satu-satunya yang dibesarkan oleh Emak, sendirian. Emak tidak selemah yang orang kira, dia sangat kuat. Dulu, keluarga banyak yang meragukan Emak. Berkali-kali Emak di suruh menikah lagi, namun dia tetap tidak mau, entah apa alasannya.

Namun, apapun itu dia adalah pahlawanku, dia adalah hartaku yang paling berharga.

“Lhe, satu lagi yang harus kamu ingat,” kata Emak.

“Injih Mak, Aji gak boleh berbohong,” jawabku dan Emak tersenyum, senyum yang membuatku Lega.

Walaupun selama aku dibesarkan tanpa sentuhan dari bapak, namun Emak selalu mengajariku arti ketulusan. Sejak kecil Emak selalau menasehatiku dengan kalimat-kalimat yang bijak. Kata Emak, aku harus belajar seperti padi yang ditanam oleh para petani.

Baca Juga: Amalan Rasulullah Untuk Orang yang Sedang Sakit Gigi, Dijamin Seketika Sembuh

“Padi itu seperti kehidupan lhe, semakin berisi semakin menunduk. Tengoklah, para petani itu mengerjakannya juga dengan banyak menunduk,” kata Emak.

“Maksudnya apa Emak?” tanyaku yang saat itu masih berusia sembilan tahun.

“Kamu pernah liat Emak, nandur?” aku mengangguk. “Posisi Emak berdiri atau menunduk?” “menunduk,” jawabku.

“Pakdemu juga mencangkul dengan menunduk.” Aku kembali mengangguk-angguk.

“Lalu, kemaren Aji juga ikut Emak panen di sawah, banyak berdiri apa menunduk?”

“Menunduk,” kataku lagi.

“Nah, itu karena sesungguhnya manusia tidak mempunyai apa-apa, para leluhur mengajarkan kita untuk terus ikhtiyar, terus kerja keras dan dengan tulus ikhlas mengerjakan sesuatu lillahi ta’ala,” kata Emak.

“Aji juga harus tahu, yang harta berharga di dunia ini bukan uang,” kata-kata Emak masih membingungkan bagiku yang saat itu masih Sembilan tahun.

Baca Juga: Ingin Meniru Ayahnya, Anak 8 Tahun ini Diam-diam Menyelipkan Komik Tulisan Tangannya di Perpustakaan

“Apa?” tanyaku.

Emak menunjuk dadaku. “Kebaikan, ketulusan dan Kejujuran,” lanjutnya.

“Mas, Ngarjito, kenapa lama sekali. Banyak yang mengantri. Cepat tulis jumlahnya.” Aku terkaget dan segera melanjutkan apa yang aku tulis. Kuberikan kertas sakti ini kepadanya.

“Apa-apaan ini? Anda tidak akan mendapatkan pekerjaan ini” katanya kasar.

“Tidak apa-apa pak, bekerja di perusahaan ini memang cita-cita saya. Tapi cara seperti ini tidak sesuai dengan hati saya,” kataku.

“Sombong sekali anda!” teriaknya lagi. “Saya jamin anda akan sulit mendapatkan pekerjaan,” lanjutnya.

Kuputuskan untuk meninggalkan perusahaan ini, sekaligus kota ini. segera aku menelpon Emak.

“Emak, besok Aji akan pulang ke desa dan mengembalikan uang ini sama Pakde.” Emak heran dan menanyakan alasannya.

“Aji ingin mencangkul sawah di Desa. Emak tahu, Aji cukup pintar mengerjakan sesuatu, jangan khawatir Emak, Aji akan melakukan yang terbaik. Aji sayang Emak.”

Yogyakarta, 04-04-2017

Demikian tentang cerpen 'Emak dan Cita-citaku' ini bisa membuat kita bergetar, bahkan bisa sampai meneteskan air mata. Semoga bermanfaat.

Editor: Ahmad Lailatus Sibyan

Sumber: Facebook

Tags

Terkini

Terpopuler