Kenangan Unik Gus Yahya Saat Ngaji Kepada KH Ali Maksum Krapyak Yogyakarta

24 Mei 2022, 21:07 WIB
Kenangan Unik Gus Yahya Saat Ngaji Kepada KH Ali Maksum Krapyak Yogyakarta /kolase facebook/udin/

BERITA BANTUL - Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Tsaquf (Gus Yahya) punya kenangan unik dan khusus dalam hidupnya saat belajar di Yogyakarta. 

Di Kota Gudeg itu, Gus Yahya mengaji kepada KH Ali Maksum pengasuh Pesantren Krapyak Yogyakarta. 

KH Ali Maksum adalah ulama kharismatik yang pernah menjadi Rais Aam PBNU pada tahun 1981-1984.

Baca Juga: Gebrakan Gus Yahya, PBNU Akan Bangun 250 Badan Usaha Milik NU

Masa belajar Gus Yahya selain dihabiskan di Pesantren Krapyak, juga pernah studi di jurusan Sosiologi Universitas Gajah Mada (UGM). 

Saat mengaji di Krapyak, kenangan Gus Yahya selalu terkait dengan KH Ali Maksum yang diakui punya peran besar dalam membentuk pribadinya. 

Ayahanda Gus Yahya, yakni KH Cholil Bisri, juga mengaji kepada KH Ali Maksum di Krapyak. Sang ayah dan anak sama-sama mengaji kepada guru yang sama.

Salah satu kenangan itu ditegaskan Gus Yahya langsung dalam kisahnya yang sangat menggetarkan berikut ini. 

Baca Juga: NU Makin Besar Jumlah Warganya, Tembus 120 Juta, Ini Rahasianya Menurut Gus Yahya

Aku heran dengan cara Mbah Ali mendidikku. Pada mulanya aku disuruh sorogan Ta’limul Muta’allim. Belum sampai khatam sudah disuruh ganti Taqrib.

Baru selesai bab Haji disuruh ganti kitab lain lagi. Begitu seterusnya aku gonta-ganti kitab tanpa satu pun mengkhatamkannya.

Rasanya manfaat yang kuperoleh bukan terutama dari kitab yang kubaca, tapi karena sering memandangi wajah Mbah Ali saja.

Kiai Masduqi Mahfudh, Malang –Rais Syuriyah PBNU yang udah wafat, menceritakan bahwa Mbah Ali memiliki maziyah (keistimewaan) bisa mentransfer ilmu tanpa mengajar secara verbal.

Baca Juga: Kisah Gus Yahya Tentang Banser Lugu vs Banser Disiplin

Pada waktu pertama kali datang ke Krapyak –mungkin sekitar tahun 50-an atau 60-an, Santri Masduqi diajak mengikat janji oleh Mbah Ali,

“Kalau kamu sanggup tinggal di pondok nggak pulang-pulang sampai tiga tahun penuh, kujamin kamu akan jadi lebih ‘alim ketimbang yang sudah mondok 15 tahun tapi bolak-balik pulang”, begitu akadnya.

Santri Masduqi benar-benar melaksanakan akad itu. Pada akhir tahun ketiga, barulah ia pamit pulang.

Sebelum mengijinkan, Mbah Ali meraih tangan Santri Masduqi dan membawanya ke meja makan.

“Ayo makan bareng aku,” kata beliau.

Baca Juga: Kisah Proposal untuk Pejabat, Gus Mus Kepada Gus Yahya: Jangan Sembarangan Mencari Uang!

Tapi ketika Santri Masduqi hendak meraih centong nasi, Mbah Ali melarangnya,

“Kamu duduk saja!” lalu tanpa terduga beliau mengambilkan nasi untuk santrinya itu, meladeninya dengan sayur dan lauk-pauk hingga minuman sesudah makan, seolah Mbah Ali-lah yang menjadi khadam.

“Sejak saat itu”, kisah Pakdhe Masduqi, “tak ada kitab yang sulit bagiku. Setiap ada lafadh yang tak kuketahui maknanya, seperti ada yang membisiki telingaku, memberi tahu artinya…”

Aku percaya pada Pakdhe Masduqi, walaupun barangkali beliau menceritakan ini sekedar untuk membesarkan hatiku ketika beliau ta’ziyah meninggalnya ayahku.

Mungkin juga aku percaya karena terdorong ketidakpahamanku akan metode pendidikan Mbah Ali. Setiap santri seolah diperlakukan khusus, dengan cara yang berbeda dari lainnya.

Baca Juga: Pidato 5 Menit hanya Diterjemahkan 1 Kata, Diplomat AS Takluk di Tangan Pejabat China Kata Gus Dur

Sepupuku yang sekamar denganku tidak cukup disuruh menulis saja. Ia diperintahkan ngeblad tulisan kitab.

Santri lain disuruh mengumpulkan maqolah-maqolah dari berbagai kitab. Seorang santri baru malah diperlakukan dengan “sangat demokratis”.

“Kamu sorogan ya, Nak”, kata Mbah Ali kepada anak yang baru lulus SD itu.

“Sorogan itu apa, Mbah?”

“Setiap habis shubuh kamu baca kitab di depanku”, Mbah Ali sabar.

“Kitab itu apa, Mbah?” Kuper nian anak itu.

Baca Juga: 9 Berkas Map Waliyullah Dibawa ke Tebuireng, Mbah Liem Buka Rahasia Isyarat Kepada Gus Dur

“Kitab itu ya buku”.

“Yang dibaca buku apa?”

“Terserah kamu…”

Pagi itu, ditengah membaca kitabku dihadapan Mbah Ali yang dirubung santri-santri, aku kaget oleh suara lantang anak baru disebelahku,

“Pulau Buton menghasilkan aspal…!”

Kulirik “kitab” yang dipegangnya: PELAJARAN GEOGRAFI KELAS I SMP!

Kisah Gus Yahya ini dikutip dari teronggosong.***

Editor: Muhammadun

Tags

Terkini

Terpopuler