Cinta Tanah Air yang Dicontohkan Rasulullah, Ini Kata Rektor Unisma Malang

26 September 2022, 15:55 WIB
Cinta Tanah Air yang Dicontohkan Rasulullah, Ini Kata Rektor Unisma Malang /tangkap layar youtube tebuireng official/

NASIONAL - Rasulullah memberikan contoh langsung terkait mencintai tanah air sebagaimana saat hendak meninggalkan kota Makkah. 

Cinta tanah air atau nasionalisme harus terpatri dalam sanubari setiap anak bangsa.

Itu semua demi menjaga semangat mempertahankan, siap berkorban dan berjuang demi bangsa sehingga tetap lestari kemajemukan baik di bidang agama, suku dan budaya.

Baca Juga: TERNYATA KH Nur Salim dan KH Maimoen Dikenal Sebagai Tokoh Cinta Negara Juga Suka Bercanda Kata Gus Baha

Demikian ditegaskan Rektor Universitas Islam Malang (Unisma), Prof. Dr. Maskuri Bakri, M.Si dalam diskusi Fikih Peradaban di Tebuireng, Jombang, 17 September 2022.

"Nasionalisme ini adalah termasuk kesunnahan dalam prespektif Living sunnah berdasarkan sirah Nabawiyah," tegas Prof Maskuri.

Menurutnya, sebagaimana yang dikemukakan Ibnu Hisyam (2001) dan Al Buti (2016) pada saat Rasulullah SAW meninggalkan Makkah Al Mukarramah, maka Rasulullah berdiri di sekitar riif (pinggiran) kota Makkah seraya bersabda:

“Alangkah indahnya engkau (Makkah) dan engkau adalah bumi yang paling ku cintai, andai bukan karena kaumku mengusirku darimu aku tak akan tinggal di bumi selainmu.”

Baca Juga: Tafsir Mimpi Bersenggama, Ternyata Maknanya Bisa Baik dan Buruk, Ini Penjelasannya

Apa yang disampaikan Rasulullah itu, katanya, merupakan bentuk kecintaan atau nasionalisme yang muncul di hati Rasulullah SAW hingga beliau menyatakan tidak akan tinggal di selain Makkah jika tidak ada insiden pengusiran beliau dari tanah kecintaan beliau.

"Kecintaan pada tanah air atau tanah kelahiran ini adalah hal yang fitrah. Maka siapapun yang mencintai tanah airnya dan mengimplementasikannya melalui sikap moderat dan nasionalis," tegasnya.

Dalam konteks itu pula, baginya, perlu diiiringi dengan pemahaman konsep bernegara yang seusai dengan tuntunan para ulama salaf maupun kholaf.

"Penting kiranya memiliki pemahaman fiqh siyasah, negara dan bangsa yang utuh," tegasnya.

Bagi Rektor Unisma Maang itu, pembahasan terkait cinta tanah air berkaitan dengan kajian fiqih siyasah (fikih politik) dalam kajian klasik maupun modern.

Baca Juga: Kronologi Lengkap Peristiwa Fathu Makkah

"Imam Al Juwaini yang berjuluk Imamul Haramain, guru dari Al Ghazali, dalam karyanya yang fenomenal al Ghiyatsi menjelaskan mendirikan negara atau membaiat pemimpin hukumnya adalah wajib," tegasnya.

Menurutnya, secara tidak langsung hal ini berarti Syariat sangat memperhatikan adanya kepemimpinan yang sah mengingat antara agama dan negara merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Satu sama lain saling membutuhkan.

"Syariat mengatur sedemikian rupa dikarenakan agama berperan sebagai pondasi sementara negara adalah penjaganya," tuturnya.

Bagi Prof. Dr. Maskuri Bakri, agama tanpa negara maka akan sia-sia. Untuk menegakkan berbagai macam aturan kehidupan manusia agar perintah dapat optimal dilaksakan serta larangan dapat dijauhi secara total dibutuhkan keterlibatan negara.

"Agama atau dalam hal ini lebih spesifik diperankan oleh Fiqih merupakan prinsip yang menjadi landasan bagi para pemeluknya untuk melakukan amal terbaik sesuai bidang masing-masing, termasuk para penyelenggara negara dalam menentukan kebijakan yang membawa kemaslahatan bagi warganya," kata Prof. Dr. Maskuri Bakri mengutip Imam Ghazali.

Baca Juga: Cerita Penting Alam Kubur di Malam Jumat

Menurutnya, Allah SWT menciptakan alam semesta ini bukan hanya sekedar menciptakan dan meninggalkannya, namun juga memberlakukan konsep tadbiir (manage) yakni alam semesta ini dikelola dan diatur oleh Allah SWT sebagaimana yang telah diatur diadalam Fiqih.

"Imam Asy-Syathibi menyatakan dalam Al Muwafaqotnya, kepentingan agama adalah menjaga keberlangsungan kehidupan manusia dari segi agama, diri, keturunan, aqal dan harta," tegasnya.

Untuk melindungi kelima unsur tersebut, lanjutnya, diturunkanlah Al Quran dan Sunnah yang kemudian diinterpretasikan kepada Ijma’, Qiyas, istishab, maslahah mursalah, urf, amalu ahlil Madinah dan istihsan. 

Dalam konteks relasinya pada akhirnya antara agama dan negara ini, katanya, dibutuhkan sikap tawassuth fittadayyun (moderasi dalam beragama) agar perilaku yang timbul dari diri manusia dapat selaras tidak ekstrim ke kanan atau ke kiri.

Baca Juga: Rahasia Abah Guru Sekumpul Memberi Nama Anaknya, Muhammad Amin Badali dan Ahmad Hafi Badali

"Moderasi beragama berarti memoderasi sikap dalam beragama terutama kaitannya dengan perilaku berbangsa dan bernegara agar tercipta negara yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur," tegasnya.

"Untuk mewujudkan itu semua dibutuhkan nasionalisme/ paham kebangsaan (persatuan bangsa)
dan cinta tanah air," pungkasnya.*** 

Editor: Muhammadun

Tags

Terkini

Terpopuler