Detik-detik Pemakaman Jenazah Rasulullah, Ini yang Memandikan dan yang Menerima di Liang Lahat

- 12 Oktober 2022, 20:45 WIB
Detik-detik Pemakaman Jenazah Rasulullah, Ini yang Memandikan dan yang Menerima di Liang Lahat
Detik-detik Pemakaman Jenazah Rasulullah, Ini yang Memandikan dan yang Menerima di Liang Lahat /facebook/udin/

SEJARAH NABI - Saat Nabi Muhammad SAW diumumkan wafatnya, semua sahabat terguncang hatinya. 

Tibalah saatnya waktu merawat jenazah Rasulullah sesuai tuntunan Islam yang diajarkan beliau. Siapa yang memandikan, menshalatkan, mengkafani dan menguburkannya. 

Semua sahabat saat itu ingin memberikan yang terbaik kepada Rasulullah, tapi hanya beberapa orang saja yang punya kesempatan istimewa untuk memegang jenazah Rasulullah.

Baca Juga: Detik-detik Wafatnya Rasulullah SAW, Ini Sikap Umar bin Khattab dan Abu Bakar As Siddiq

Dijelaskan, bahwa pada saat wafatnya Rasulullah, Imam Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang segera turun tangan untuk merawat dan mempersiapkan pemakaman jenazah manusia terbesar di dunia, yang paling dicintai dan dikaguminya.

Untuk pertama kali kaum muslimin menghadapi cara pemakaman jenazah orang yang paling mereka hormati dan mereka cintai sebagai pemimpin agung.

Seorang manusia pilihan Allah, Nabi dan Rasul-Nya. Seorang tokoh besar yang tak akan pernah ada bandingannya dalam sejarah.

Seorang arif bijaksana yang telah berhasil mengubah tata kehidupan bangsanya.

Seorang yang telah menunjukkan kesanggupan merombak secara menyeluruh nilai-nilai lama dan menggantinya dengan nilai-nilai baru yang mulia dan luhur, yaitu Islam.

Baca Juga: Khutbah Nabi Muhammad Menjelang Wafatnya yang Menggetarkan

Seorang manusia agung yang jauh lebih mulia dibanding dengan kepala-kepala qabilah, pemimpin-pemimpin golongan, bahkan raja-raja sekalipun.

Seorang yang hanya dalam waktu kurang lebih dua dasawarsa sanggup mengubah wajah dunia Arab dan mengangkat derajat satu bangsa yang tadinya dipandang rendah menjadi sangat disegani oleh kekutan-kekuatan raksasa seperti Romawi dan Persia.

Jauh lebih besar lagi, karena Nabi Muhammad SAW datang ke tengah-tengah ummat manusia membawa agama besar untuk menegakkan kebenaran dan keadilan di permukaan bumi.

Tata cara yang direncanakan untuk memakamkan jenazah suci itu ternyata banyak menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin, terutama mengenai problema: siapa yang berhak memandikan, siapa yang berhak menurunkan ke liang lahat dan lain sebagainya.

Tentang di mana jenazah suci akan dikebumikan juga menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para sahabat.

Baca Juga: Wasiat Nabi Muhammad Menjelang Wafat

Sebagian menuntut supaya jenazah Rasulullah dimakamkan di Makkah. Sebagai alasan dikatakan, di kota itulah beliau dilahirkan.

Sebagian lain menuntut supaya jenazah beliau dimakamkan di Madinah, di pemakaman Buqai', dengan alasan agar beliau bersemayam bersama-sama pahlawan syahid yang gugur dalam perang Uhud.

Akhirnya perbedaan pendapat ini dapat disudahi, setelah Abu Bakar mengumumkan, bahwa ia mendengar sendiri penegasan Rasulullah:

"Semua Nabi dimakamkan di tempat mereka wafat".

Berdasarkan itu bulatlah mereka memakamkan jenazah Nabi Muhammad di rumah beliau di Madinah.

Tentang masalah siapa yang akan mengimami shalat jenazah secara berjama'ah juga terdapat pertikaian.

Pertikaian itu terjadi karena hal itu dipandang suatu kehormatan yang sangat tinggi bagi seorang yang bertindak selaku Imam shalat jenazah bagi manusia agung seperti Nabi Muhammad SAW.

Baca Juga: Kalau Punya Emas Sebanyak Gunung Uhud, Imam Hasan Basri Akan Infakkan untuk Acara Maulid Nabi

Karena tidak tercapai kesepakatan, akhirnya tiap orang melakukan shalat jenazah sendiri-sendiri.

Sementara itu terdapat riwayat lain yang mengatakan, bahwa di kala itu Imam Ali mengusulkan shalat jenazah secara berjema'ah.

Usul tersebut diterima oleh kaum muslimin, bahkan disepakati ia bertindak sebagai imam.

Begitu pula, tentang siapa yang akan mendapat kehormatan menurunkan jenazah suci ke liang lahat.

Abbas bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah mengusulkan supaya Abu Ubaidah bin Al Jarrah saja yang menurunkan ke liang lahat.

Sebagai alasan dikemukakan, bahwa dia sudah biasa menggali liang lahat dan mengebumikan orang-orang Makkah.

Imam Ali berpendirian lain. Ia mengusulkan agar Abu Thalhah Al-Anshari saja yang turun ke liang lahat.

Baca Juga: Perayaan Maulid Nabi; Ekspresi Indah dalam Menyambut Kelahiran Nabi Muhammad

Alasannya senada dengan paman Rasulullah di atas, hanya kotanya lain:

"Ia sudah biasa menggali liang lahat dan memakamkan orang-orang Madinah."

Setelah melalui pertukaran pendapat beberapa lamanya, akhirnya terdapat saling pengertian dan Abu Thalhah mendapat kehormatan menggali liang lahat.

Kemudian timbul pula problema baru. Siapa yang akan menyertai Abu Thalhah dalam melaksanakan tugas terhormat itu?

Problema-problema seperti di atas timbul, karena tidak ada seorang pun yang diakui otoritasnya untuk mengatur dan menentukan tata-cara pemakaman.

Juga karena tidak ada wasiat apa pun dari Rasulullah tentang sesuatu yang perlu dilakukan kaum muslimin pada saat beliau wafat.

Soal-soal yang bagi orang zaman sekarang dianggap kurang penting, pada masa itu benar-benar dipandang sebagai satu soal yang besar.

Baca Juga: Sejarah Asal Mula Perayaan Maulid Nabi dan Kitab Al Barzanji yang Berisi Pujian kepada Nabi Muhammad

Lebih-lebih karena yang dihadapi kaum muslimin ialah jenazah Rasulullah SAW.

Hal itu wajar. Rasanya tidak ada kehormatan yang lebih tinggi dari pada memperoleh kesempatan memberikan pelayanan terakhir kepada jenazah suci itu.

Akhirnya Imam Ali dengan terus terang dan tegas berkata: "Tidak ada orang yang boleh turun ke liang lahat bersama Abu Thalhah selain aku sendiri dan Abbas."

Sungguh pun sudah ada ketegasan seperti itu dari Imam Ali, namun dalam praktek ia membolehkan juga Al-Fadhl bin Abbas dan Usamah bin Zaid turun ke liang lahat.

Hal itu menimbulkan rasa kurang enak di kalangan kaum Anshar. Mereka menuntut agar ada seorang dari kaum Anshar yang ikut.

Tuntutan yang adil itu akhirnya disepakati dan ditunjuklah orangnya, Aus bin Khauliy.

Aus dulu pernah ikut aktif dalam perang Badar melawan kaum musyrikin Quraisy.

Baca Juga: Saat Rasulullah Demam Tinggi, Para Sahabat Bersedih dan Penuh Khawatir

Dalam semua kegiatan membenahi pemakaman jenazah Rasulullah, Imam Ali benar-benar memainkan peranan yang sangat dominan.

Bahkan waktu memandikan jenazah beliau, Imam Ali lah satu-satunya orang yang menjamah jasad manusia agung itu.

Hal itu dimungkinkan karena sebelumnya banyak orang yang sudah mendengar, bahwa Rasulullah sendiri pernah menyatakan, hanya Imam Ali saja yang boleh melihat aurat beliau.

Kesan Imam Ali yang sangat mendalam dan selalu terkenang dari peristiwa memandikan jenazah suci itu ialah:

"…kubalikkan sedikit saja, jasad beliau sudah menurut. Sama sekali tidak kurasakan berat. Seolah-olah ada tangan lain yang membantuku, bukan lain pasti tangan Malaikat."

Riwayat lain mengatakan, bahwa yang memandikan jenazah Rasulullah bukan hanya Imam Ali, tetapi juga Abbas bin Abdul Muthalib serta dibantu oleh dua orang putranya yang bernama Al-Fadhl dan Qutsam, di samping Usamah bin Zaid.

Baca Juga: Kronologi Lengkap Peristiwa Fathu Makkah

Usamah bin Zaid dan Syukran, yang sampai saat terakhir menjadi pembantu Rasulullah, dua-duanya menuangkan air.

Jasad jenazah suci dimandikan tetap dalam mengenakan pakaian.

Di saat memandikan Imam Ali tertegun oleh keharuman bau semerbak dan sambil bergumam mengucapkan:

"Demi Allah, alangkah harumnya engkau di waktu hidup dan setelah meninggal!"

Sementara riwayat mengatakan pula, hahwa pemakaman jenazah suci itu dilakukan pada malam hari di bawah cahaya gemerlapan bintang-bintang di langit hening.

Di tengah keheningan malam itu terdengar detak-denting suara orang menggali lahad, bercampur suara saling berbisik, seolah-olah jangan sampai mengusik ketenangan jenazah agung yang sedang menuju ke pembaringan terakhir.

Baca Juga: Rahasia Abah Guru Sekumpul Memberi Nama Anaknya, Muhammad Amin Badali dan Ahmad Hafi Badali

Tidak jauh dari tempat pamakaman terdengar suara haru para wanita tertahan mengendap-endap rintihan duka. Innaa Lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun…

Keterangan tersebut dikutip dari buku 'Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib' karya H.M.H. Al Hamid Al Husaini yang diterbitkan Lembaga Penyelidikan Islam tahun 1981.***

Editor: Muhammadun


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah