Baca Juga: Pendapat Ibn Rusyd tentang Keutamaan Perempuan yang Dikutipnya dari Plato
Di tempat lain, Imam Al-Ghazali mengatakan dengan penuh kearifan, “Mendengarkan musik penting bagi seorang yang hatinya dikuasai oleh cinta kepada Tuhan, supaya api cintanya berkobar-kobar. Akan tetapi, bagi orang yang hatinya dipenuhi cinta hasrat duniawi yang fana, mendengarkan musik merupakan racun yang mematikan, dan karena itu haram.”
Kata-kata Imam Al-Ghazali ini ingin menjelaskan bahwa tidak semua jenis musik dan alat-alat yang digunakannya adalah haram, sebagaimana pandangan para ulama fikih.
Itu sangat tergantung pada motif. Jika gairah akan keindahan dari musik itu diarahkan kepada Tuhan, gairah cinta kepada-Nya akan semakin kuat.
Musik adalah tangga jiwa menuju Tuhan. Akan tetapi, jika ia diarahkan untuk hasrat-hasrat duniawi, ia akan mengarahkan kepada rangsangan-rangsangan keburukan dan kejahatan.
Tokoh sufi lain yang menghubungkan musik dengan spiritualitas Islam adalah Ruzbihan Baqli Syirazi.
Dalam “Risalah Al-Quds”, dia menjelaskan signifikansi musik, kriteria orang-orang yang boleh mendengarkan, dan jenis musik yang pantas untuk dimainkan dan didengarkan.
Intelektual muslim modern terkemuka, seorang perenialis, Seyyed Hossein Nasr, mengemukakan bahwa musik di dunia Islam adalah salah satu media paling universal dan berpengaruh untuk mengekspresikan hal yang terkandung di dalam inti Islam, yakni perwujudan Keindahan Wajah Tuhan dan kepasrahan pada Sang Realitas ini, Realitas yang sekaligus adalah Keindahan dan Kedamaian, Kasih Sayang dan Cinta itu sendiri.
Bagi kaum sufi, musik berfungsi menenangkan pikiran dari beban urusan kemanusiaan, menghibur kecenderungan alamiah manusia, dan menstimulasinya untuk melihat rahasia ketuhanan (asrar rabbani).