“Pakdemu juga mencangkul dengan menunduk.” Aku kembali mengangguk-angguk.
“Lalu, kemaren Aji juga ikut Emak panen di sawah, banyak berdiri apa menunduk?”
“Menunduk,” kataku lagi.
“Nah, itu karena sesungguhnya manusia tidak mempunyai apa-apa, para leluhur mengajarkan kita untuk terus ikhtiyar, terus kerja keras dan dengan tulus ikhlas mengerjakan sesuatu lillahi ta’ala,” kata Emak.
“Aji juga harus tahu, yang harta berharga di dunia ini bukan uang,” kata-kata Emak masih membingungkan bagiku yang saat itu masih Sembilan tahun.
Baca Juga: Ingin Meniru Ayahnya, Anak 8 Tahun ini Diam-diam Menyelipkan Komik Tulisan Tangannya di Perpustakaan
“Apa?” tanyaku.
Emak menunjuk dadaku. “Kebaikan, ketulusan dan Kejujuran,” lanjutnya.
“Mas, Ngarjito, kenapa lama sekali. Banyak yang mengantri. Cepat tulis jumlahnya.” Aku terkaget dan segera melanjutkan apa yang aku tulis. Kuberikan kertas sakti ini kepadanya.
“Apa-apaan ini? Anda tidak akan mendapatkan pekerjaan ini” katanya kasar.