Keistimewaan Kiai Kategan Plered, Penghulu Kerajaan Mataram Islam di Masa Sultan Agung Hanyokrokusumo

3 Januari 2023, 06:00 WIB
Keistimewaan Kiai Kategan Plered, Penghulu Kerajaan Mataram Islam di Masa Sultan Agung Hanyokrokusumo /facebook/asuyaser/

TOKOH - Keistimewaan Kiai Kategan Plered, Penghulu Kerajaan Mataram Islam di Masa Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Namanya Kiai Kategan, sosok ulama yang diminta jadi penghulu oleh Raja Mataram Islam Sultan Agung Hanyokrokusumo (1593 - 1645).

Nama Kiai Kategan tak banyak dibicarakan. Tapi kemasyhuran Sultan Agung punya jejak keluhuran dari ulama yang jadi penghulu Kerajaan Mataram Islam itu. 

Baca Juga: Kenapa Makam Raja Mataram Amangkurat 1 Tidak Berada di Makam Raja Imogiri?

Dijelaskan oleh Yaser Muhammad Arafat, Kiai Ahmad Kategan, atau biasanya disebut Kiai Kategan, termasuk dalam kelompok “Kyai Ageng” setelah masa para wali sanga.

"Gelar 'Kyai Ageng' ini menandakan bahwa sang pemilik gelar merupakan seorang guru besar dalam ilmu kasunyatan atau ilmu yang dalam khazanah ilmu-ilmu kesilaman di arab disebut: makrifat," tegas Yaser.

Menurutnya, 'Kyai Ageng' bersemakna dengan gelar 'al-Syaikh al-Akbar'. Di negeri padang pasir, sejauh ini gelar itu merupakan anugerah bagi sang quthb makrifat pada masanya, Ibnu Arabi. Kyai sama dengan al-Syaikh. Ageng sama dengan al-Akbar.

"Dalam peta tata kekaratonan mataram Islam pada zamannya, Kiai Kategan adalah ulama yang dilambangkan dengan gajah (liman)," tuturnya.

Karena dilambangkan gajah itu, sambungnya, berarti sang linambang tersebut merupakan ulama yang ikut dalam penataan kebijaksanaan melalui jalur pengajaran ilmu pengetahuan dan seturutnya untuk orang banyak.

"Maklumat ini mengantarkan pemahaman penting pada kenyataan bahwa Kiai Kategan adalah seorang penghulu yang diminta langsung oleh Sinuwun Sultan Agung Hanyakrakusuma," tegasnya.

Baca Juga: Punya Sejarah Kelam di Mataram, Jenazah Amangkurat 1 Disebut Wangi dan Tak Membusuk

Sekedar kabar tambahan, katanya, selain “gajah”, ada pula lambang “kyai ageng” lainnya di Jawa, yaitu lebah (bramara) dan biawak/buaya/bajul (sarira).

"Keistimewaan Kiai Kategan ada di situ. Ia menjadi sosok keramat dalam kerja penyusunan-ulang peradaban (cakra manggilingan) yang dikrida-laksanakan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma," terang Yaser yang juga dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Baginya, sebagai seorang pemegang tampuk kendali berjeneng (bernama-ruh) “Hanyakrakusuma”, Sultan Agung memang tertakdirkan untuk memulakan pemanunggalan tata-hidup beralas peradaban bulan (candra) dan peradaban matahari (surya) yang sebelumnya masih terpisah.

"Hingga kini, polesan peradaban baru yang bersumber dari tangan Sultan Agung melestari dalam banyak hal. Satu di antaranya adalah ilmu matematika-amali (ilmu falak) kawula jawi," tegasnya.

Ilmu falak Jawi itu, lanjutnya, mulai dari babak penghitungan mangsa, pemilihan pekerjaan, perbintangan, tafsir mimpi, hitungan waktu terbaik untuk bepergian, hingga perjodohan.

"Semua itu, di Jawa, merupakan perkara ke-muhammad-an. Menjadi maklum bila nama Kanjeng Nabi saw dan amal salawat kepadanya lantas menyumsum di dalam kebudayaan Jawa. Kiai Kategan ada di pusat kerja pembumian ke-muhammad-an itu di tanah Jawa," terangnya.

Baca Juga: 31 Desember 2009, Detik-detik Pemakaman Gus Dur Dihadiri Jutaan Manusia Indonesia

Dijelaskan juga, ada lambang “wulan tumanggal” atau “bulan sabit” yang terpahat di nisan Kiai Kategan dan nisan makam-makam pada zaman itu serta setelahnya ada di ranah wicara ini.

"Maksudnya: “wala-nata-manggala”. Jadi bulan sabit di makam-makam kuno dan di warangka keris itu bukan lambang kekhilafahan Turki Usmani," sambungnya.

Pada titik ini, katanya, sangat mendesak untuk membaca kebudayaan di tanah ini dengan pawidyan (epistemologi) pribumi. Bukan pawidyan kamilondonan dan kamiaraban.

"Jeneng 'Kategan' berasal dari bahasa kawi. Kategan berarti: telah meninggalkan keduniaan (wis ninggal kadonyan)," tegasnya.

Selain makna itu, katanya, Kategan juga berarti orang yang tapa (suluk)nya telah menyempurna (kasutapan).

"Ada satu makna tingkat lanjut dari jeneng 'Kategan' ini. Bahwa ia mendalilkan perihal sang pemilik jeneng sebagai seorang ulama (pandhita) pemegang ijazah untuk mengajarkan dan menjaga keberlangsungan penerapan alam-pikiran triloka/trimina/tribhuwana/tripandurat dalam perjalanan sejarah," kata dosen yang mendalami jejak-jejak makam di Yogyakarta dan sekitarnya ini.

Baca Juga: Bukti Karomah dan Kesaktian Gus Dur, bagi yang Merasakan Langsung Terkagum-kagum

Keterangan Yaser Muhammad Arafat itu dikutip dari catatan facebook pribadinya yang diunggah pada 21 Agustus 2020.***

 

Editor: Muhammadun

Tags

Terkini

Terpopuler