Islam Tidak Menentukan Secara Implisit terkait Bentuk Negara

- 26 September 2022, 19:23 WIB
Rektor Unisma Malang menjelaskan bahwa Islam Tidak Menentukan Secara Implisit terkait Bentuk Negara
Rektor Unisma Malang menjelaskan bahwa Islam Tidak Menentukan Secara Implisit terkait Bentuk Negara /beritabantul/

NASIONAL - Terkait bentuk suatu negara, Islam tidak menjelaskan secara implisit aturan rincinya.

Pembentukan negara merupakan persoalan siyasah (politik) yang secara teknis disesuaikan
dengan kondisi dan situasi.

Tentu saja dengan memegang prinsip pada kemaslahatan dan menjauhkan dari kemadharatan.

Baca Juga: Cinta Tanah Air yang Dicontohkan Rasulullah, Ini Kata Rektor Unisma Malang

Demikian ditegaskan Rektor Universitas Islam Malang (Unisma), Prof. Dr. Maskuri Bakri, M.Si dalam diskusi Fikih Peradaban di Tebuireng, Jombang, 17 September 2022. 

"Seandainya bentuk negara adalah bagian dari syariat tentu secara spesifik al Quran sudah menentukannya," tegasnya.

Menurutnya, Al Quran berbicara tentang kisah para penguasa, seperti namrud di masa Nabi Ibrahim alahissalam, Fir’aun di zaman Nabi Musa alaihissalam, Dzulqarnain, Nabi Sulaiman Alaihissalam, ratu bilqis, raja Jaluth dan Tholuth tetapi tidak ditemukan satupun teks al Quran yang menyoal bentuk negaranya.

"Al Quran justru lebih fokus memberikan catatannyaterhadap baik buruknya perilaku penguasa secara personal agar dapat dijadikan ibrah bagi umat-umat berikutnya," katanya.

Baca Juga: 12 Ribu Pasukan Umat Islam dalam Perang Hunain

Lebih lanjut, Rektor Unisma Malang ini juga menjelaskan, sebagaimana Al Quran, teks teks hadith pun hanya menyoal kedisiplinan pemimpin dan tata hubungan sosialnya.

"Suatu Ketika Nabi Muhammad SAW menyebut penguasa dengan kata sultan (raja), pada kesempatan lain dengan kata Imam (pemimpin, di lain kesempatan juga dengan kata al Mas’ul (yang dimintai pertanggung jawaban)," katanya.

Ditegaskan juga, persoalan bentuk negara merupakan bagian dari siyasah di mana itu diserahkan kepada para fuqoha’ yang menginterpretasikan kandungan-kandungan al Quran dan Hadith dalam mengkajinya.

"Rasulullah Muhammad SAW yang diutus sebagai rahmatan lil aalamin dalam perjalanan dakwahnya baik di Makkah maupun di Madinah tidak pernah mengupayakan untuk mendirikan negara secara resmi sesuai espektasi beberapa kelompok tertentu," tuturnya.

Baca Juga: Kronologi Lengkap Peristiwa Fathu Makkah

Ditegaskan lagi, Nabi fokus pada pembenahan aqidah dan akhlak serta menjadikan kedua hal tersebut prioritas utama dalam garapan dakwahnya.

Bahkan dalam karya fenomenal Fiqhussiroh An Nabawiyah (kajian Fiqh yang diadopsi dari sejarah Sirah Nabawiyah) karya Dr. Muhammad Said Ramadhan Al Buti dijelaskan saking kuatnya prinsip Nabi Muhammad SAW dalam menjalankan innamaa buitstu liutammima makarimal akhlak (sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlakul karimah umat semesta
alam).

"pada saat beliau didatangi al Walid bin Mughirah serta ditawari beberapa penawaran-penawaran yang menggiurkan dari harta, tahta dan wanita, semua itu ditolak mentah-mentah oleh Nabi SAW," tegas Prof Maskuri Bakri mengutip Syekh Muhammad Said Ramadhan Al Buti. 

Jika direnungi dengan seksama, lanjutnya, andai Rasulullah SAW memiliki pola pikir politikus masa kini, naudzu billah, maka bisa jadi beliau akan berfikir menerima tawaran Al Walid bin Mughiroh menjadi raja di tanah arab.

"Kalau menerima, maka setelah beliau berkuasa dapat dipastikan dakwah Islam akan dengan mudah disebarkan dengan kekuasaan dan pengaruh yang telah digenggam. Namun hal ini tidak dilakukan oleh beliau," tegasnya.

Baca Juga: Uang Hasil Judi Berubah Jadi Darah, Karomah Habib Umar Al Athos

Menurutnya, Nabi Muhammad SAW memilih dakwah yang dimulai dari bawah, melakukan pendekatan-pendekatan persuasif, menyentuh hati umatnya dengan perilaku-perilaku mulia.

"Nabi Muhammad memahami bahkan meskipun memiliki tujuan semulia apapun tidak boleh lantas
menghalalkan segala cara dalam mencapainya," tegasnya.

Baginya, meski pengikut Nabi saat berdakwah di Makkah sedikit, tidak lantas membuat beliau berpaling dari jalan kebenaran.

Dari sini, lanjutnya, lahirlah kaidah Fiqhiyah 'Tujuan sebaik apapun tidak lantas dapat menghalalkan segala perantara'. 

"Maka tidak ada yang salah dalam sistem negara yang tidak menganut khilafah. Justru mempertahankan NKRI sejatinya adalah mempertahankan eksistensi Islam," tegasnya.

Baca Juga: Definisi Suap dalam Islam

Karena secara konteks keindonesiaan, katanya,  agama dapat tegak bilamana masyarakatnya bersatu dan damai.

"Tidak mungkin bersatu damai tanpa memegang teguh prinsip dasar negara yang telah disepakati seluruh warga Indonesia dan para pendahulu dengan segala kemajemukannya," pungkasnya.***

Editor: Muhammadun


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah