Baca Juga: Punya Sejarah Kelam di Mataram, Jenazah Amangkurat 1 Disebut Wangi dan Tak Membusuk
Sekedar kabar tambahan, katanya, selain “gajah”, ada pula lambang “kyai ageng” lainnya di Jawa, yaitu lebah (bramara) dan biawak/buaya/bajul (sarira).
"Keistimewaan Kiai Kategan ada di situ. Ia menjadi sosok keramat dalam kerja penyusunan-ulang peradaban (cakra manggilingan) yang dikrida-laksanakan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma," terang Yaser yang juga dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Baginya, sebagai seorang pemegang tampuk kendali berjeneng (bernama-ruh) “Hanyakrakusuma”, Sultan Agung memang tertakdirkan untuk memulakan pemanunggalan tata-hidup beralas peradaban bulan (candra) dan peradaban matahari (surya) yang sebelumnya masih terpisah.
"Hingga kini, polesan peradaban baru yang bersumber dari tangan Sultan Agung melestari dalam banyak hal. Satu di antaranya adalah ilmu matematika-amali (ilmu falak) kawula jawi," tegasnya.
Ilmu falak Jawi itu, lanjutnya, mulai dari babak penghitungan mangsa, pemilihan pekerjaan, perbintangan, tafsir mimpi, hitungan waktu terbaik untuk bepergian, hingga perjodohan.
"Semua itu, di Jawa, merupakan perkara ke-muhammad-an. Menjadi maklum bila nama Kanjeng Nabi saw dan amal salawat kepadanya lantas menyumsum di dalam kebudayaan Jawa. Kiai Kategan ada di pusat kerja pembumian ke-muhammad-an itu di tanah Jawa," terangnya.
Baca Juga: 31 Desember 2009, Detik-detik Pemakaman Gus Dur Dihadiri Jutaan Manusia Indonesia
Dijelaskan juga, ada lambang “wulan tumanggal” atau “bulan sabit” yang terpahat di nisan Kiai Kategan dan nisan makam-makam pada zaman itu serta setelahnya ada di ranah wicara ini.
"Maksudnya: “wala-nata-manggala”. Jadi bulan sabit di makam-makam kuno dan di warangka keris itu bukan lambang kekhilafahan Turki Usmani," sambungnya.